Likuifaksi


Gempa bumi yang mengguncang Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9) memunculkan fenomena tanah bergerak atau likuifaksi. Fenomena tersebut diketahui terjadi di Sigi, Sulawesi Tengah. Pengertian likuifaksi atau pencairan tanah adalah hilangnya kekuatan dan kekakuan tanah jenuh air akibat adanya perubahan tegangan pada tanah. Akibat dari hilangnya kekuatan tanah ini dapat berupa longsor, perubahan tekstur tanah menjadi lumpur, atau penurunan atau pergerakan tanah secara tiba-tiba. Likuifaksi hampir sebagian besar terjadi pada tanah jenis pasir, terutama jenis pasir lepas. Dampak likuifaksi ini dapat kita lihat dengan istilah “tenggelam” nya pemukiman warga di Sigi Sulawesi Tengah.

Telah disinggung sebelumnya bahwa likuifaksi pada umumnya terjadi pada tanah pasir lepas, apa itu tanah pasir lepas?. Pertama, tanah lepas adalah kata lain dari komposisi partikel tanah yang tidak jauh berbeda dengan air dan udara, atau kepadatannya rendah. Kedua, Pasir adalah jenis tanah berbutir kasar (pasir/sand). Tanah pasir punya sifat tidak bisa memadat. Ikatan tanah pasir hanya sentuhan antar partikel. Maka dari itu tanah pasir lepas memiliki banyak ruang pori, ruang tersebut akan terisi air atau udara.

Ketika goncangan gempa terjadi di tanah yang kaya atau dekat dengan sumber air, ruang pori terebut terisi air. air yang mengisi pori-pori antar partikel pasir akan berusaha menekan ke segala arah (tegangan air pori meningkat) dan mendorong partikel-partikel pasir menjadi lebih renggang sehingga gaya kontak antara partikel-partikel pasir menjadi hilang. Perubahan ini menurunkan kekuatan tanah dan menyebabkan massa tanah mengambil karakteristik cairan. Dalam keadaan cair, tanah mudah berubah bentuk, dan benda berat seperti konstruksi di atasnya dapat rusak karena kehilangan kekuatan yang menopang dari dalam tanah.

Tanah yang terlikuifikasi akan memberikan banyak sekali dampak. Contohnya seperti pasir hisap, bangunan atau material di atasnya terendam, dapat pula menyebabkan tanah longsor. Lebih luas, likuifaksi dapat “menenggelamkan” dan “mengubur” satu kawasan seperti yang terjadi di Sigi, Sulawesi Tengah. Likuifaksi sebetulnya bukan sebuah barang baru, tahun 1964 gempa bumi berkekuatan skala 7.6 mengguncang prefektur Niigat, Jepang. Sebagian besar bagian kota Niigata terdampak likuifaksi, lebih dari 3000 rumah rusak, 11.000 lebih dilaporkan mengalami kerusakan akibat gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami yang terjadi saat itu. Gempa Padang, 30 September 2009 lalu, juga mencatat kejadian likuifaksi yang menyebabkan beberapa bangunan bertingkat amblas, masuk kedalam tanah.

Mencegah likuifaksi sepertinya bukan yang tepat. Likuifaksi seperti gempa itu sendiri tidak bisa dicegah. Meminimalisir efek kerusakan akibat likuifaksi adalah hal yang bisa kita lakukan. Dengan memberikan tiang pancang sampai tanah keras (bedrock). Meminimalisir korban dengan sistem dan desain gawat darurat bangunan yang baik. Menanam pohon agar tanah tidak rentan bergerak atau longsor saat likuifaksi. Semoga studi-studi ilmiah tentang bencana semakin berkembang sehingga menghasilkan informasi valid yang terukur untuk membantu masyarakat siap untuk mengadapi bencana. Bencana tidak dapat kita prediksi kapan terjadinya, dan juga tidak dapat kita hindari, akan tetapi sangat disarankan kita selalu siapsiaga.


Kezia Yumna
XI MIPA 4
13

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar