Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki hingga menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki. Dominasi mereka tak hanya mencakup ranah personal saja, melainkan juga dalam ranah yang lebih luas seperti partisipasi politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain.
Salah satu contoh kasus patriarki di Indonesia terjadi saat masa penjajahan oleh kolonial Belanda. Tidak hanya menjajah sumber daya, mereka juga memanfaatkan dan menindas masyarakat pribumi terutama perempuan. Dengan adanya persepsi bahwa perempuan pasti ujung-ujungnya “kasur, dapur, sumur”, hal ini mengakibatkan tidak adanya fasilitas pendidikan untuk perempuan. Disisi lain, perempuan juga menjadi objek penindasan yang paling menyiksa dari lahir sampai batin. Bagaimana tidak menjadi objek utama, jika saat itu banyak perempuan-perempuan pribumi menjadi selir bahkan sebagai objek pemuas nafsu para penjajah.
Hingga muncullah gerakan emansipasi perempuan yang digagas oleh Raden Ajeng Kartini. Dikutip dari European Institute for Gender Equality (EIGE), emansipasi wanita adalah proses, strategi dan berbagai upaya yang digunakan perempuan untuk membebaskan diri dari otoritas dan kontrol laki-laki dan struktur kekuasaan tradisional, dalam hal ini sebenarnya menuntut hak perempuan terhadap pendidikan. Di era modern ini, istilah emansipasi telah mengalami suatu pergeseran makna, kebanyakan perempuan masih belum paham bagaimana cara menerapkannya dengan langkah nyata. Jika dulu Kartini berjuang agar wanita bisa mendapatkan haknya, kini emansipasi wanita sebenarnya dapat diwujudkan dengan langkah-langkah yang lebih mudah, misalnya dengan menjadi agen perubahan dalam komunitas yang paling kecil, seperti di dalam kelompok pertemanan atau di dalam rumah.
Dengan adanya emansipasi wanita, saat ini perempuan telah memperoleh hak pendidikan sampai pendidikan yang paling tinggi, namun faktanya persepsi patriarki di Indonesia susah untuk dihilangkan yang sudah menjadi pegangan erat masyarakat Indonesia. Dapat dilihat meski perempuan telah melakukan pendidikan yang bebas sekalipun, namun ketika sudah berumah tangga perempuan harus membagi perannya. Sebenarnya persepsi seperti itu hanya konstruksi cara berpikir masyarakat Indonesia. Jika dahulu perempuan hanya “dapur, kasur, sumur” namun sekarang bidang politik membutuhkan sekitar 30% posisi perempuan dalam partai politik.
Permasalahan gender di Indonesia ini menjadi persepsi masyarakat yang sudah mengakar turun-temurun, dan susah sekali untuk dihilangkan. Dapat disimpulkan bahwa itu hanyalah konstruksi dari masyarakat Indonesia. Tidak ada yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama jiwa yang satu dalam lingkup hamba Allah, hanya amal ibadah, fungsi dan peran yang membedakan keduanya.
Nama : Prasasti Cikaltyas
No absen : 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar