Pilkada serentak bukan lagi persoalan yang harus diperdebatkan karena pada esensinya pilkada serentak adalah jalan menuju demokrasi yang substansial. Pada hakikatnya yang menjadi substansial dari demokrasi adalah pemenuhan hak-hak rakyat dan menentukan nasibnya sendiri, sehingga keterlibatan masyarakat dalam pilkada secara langsung memenuhi hak-hak politiknya untuk memberikan suara yang dapat menentukan nasibnya dan membantu pemerintahan dalam menjalakan tugasnya. Pilkada serentak merupakan teknis baru yang dimulai sejak tahun 2015 untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dengan tidak terlalu banyak menyita waktu, pemborosan anggaran, konflik-konflik yang berkepentingan, dan kecurangan-kecurangan seperti penggelembungan suara.
Pilkada serentak 2018 mengalami beberapa perbaikan terhadap evaluasi pilkada serentak 2017 seperti pembenahan regulasi yakni aturan mengenai sistem rekapitulasi suara diadakan dikecamatan setelah sebelumnya diadakan di kelurahan. Selain itu aturan tentang atribut kampanye akan diatur letaknya agar tidak mengganggu keindahan dan ketertiban. Pemutakhiran data pemilu, petugas pelaksana pemilu (KPPS) sejak 2017 hingga dibuka selebar-lebarnya kesempatan untuk menjadi anggota KPPS dengan persyaratan dan pembekalan tertentu berbeda dengan tahap pertama KPPS masih khusus berasal dari masyarakat kecamatan daerah yang melaksanakan pilkada. Hal yang tidak kalah pentingnya memberikan sosialisasi dan pendidikan politik terutama pemilih pemula yang harus memilih karena visi misi yang jelas dan kinerja kepala daerah.
Melalui pilkada yang dilaksanakan dengan langsung dan serentak dapat memantapkan demokrasi lokal melalui pemenuhan hak-hak sipil rakyat dengan turut serta pada pemilihan kepala daerah. Kematangan berdemokrasi di lokal dapat kita perhatikan sejauh mana partisipasi masyarakat pada pemerintahan. Hal tersebut tidak hanya sebagai pemilih tetapi masyarakat membantu pemerintah melalui pengawasan, mensosialisasikan dan mejadi petugas pemilu hingga sebagai pemilih. Meskipun secara regulasi penyelenggara pemilihan kepala daerah adalah KPU yang berada dibawah rezim pemilu akan tetapi hal tersebut menjadi progresifitas pemerintah untuk menyukseskan pemilihan kepala daerah yang nota bene dibawah rezim otonomi daerah. Inilah yang menjadi salah satu masukan agar dibentuk penyelenggara pemilihan kepala daerah yang berada di bawah rezim otonomi daerah agar kewenanganya dapat lebih jelas dan terarah serta tidak berimplikasi pada konflik kewenangan. Pelaksanaan pilkada serentak yang akan datang menjadi tantangan pemerintah agar dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dengan mengevaluasi berbagai perangkat-perangkat pelaksanaan pilkada mulai dari regulasi hingga teknis pelaksanaan.
Menurut Lawrane M. Friedman, ada 3 komponen dalam sistem hukum yakni substance, structure and culture. Tiga komponen hukum tersebut sangat mempengaruhi berhasilnya pilkada serentak, aturan-aturan pelaksanaan pilkada serentak harus mengikat bagi semua pihak, begitupun dengan struktur yaitu perangkat-perangkat yang terlibat dalam pilkada mulai dari pemerintah hingga tim teknis pelaksanaan harus memahami regulasi agar dapat melaksanakanya dengan baik. Tidak kalah pentingnya adalah masyarakat sebagai unsur terpenting dalam hukum yang harus memahami arti penting pilkada agar tumbuh kebiasaan untuk berperan serta dalam pemilihan baik sebagai pemilih, pengawas atau membantu pemerintah dalam pelaksanaan pilkada serentak. Jika komponen hukum tersebut terpenuhi kita dapat optimis demokrasi substansial bukan sesuatu yang mustahil untuk diterapkan. Pemilihan kepala daerah hanyalah bagian terkecil dari penerapan demokrasi dalam suatu negara karena hampir semua negara yang menganut paham demokrasi melaksanakan pemilihan kepala negara hingga kepala daerah.
Nama : Rizma Cahya Praninda
No Absen : 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar