Tsunami

Secara etimologi tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu ‘tsu’ yang berarti pelabuhan dan ‘nami’ yang berarti ombak. Tsunami terjadi ketika gelombang air besar yang diakibatkan oleh gangguan di dasar laut, seperti gempa bumi. Gangguan ini membentuk gelombang yang menyebar ke segala arah dengan kecepatan gelombang mencapai 600–900 km/jam. Pada awalnya gelombang tersebut berfrekuensi kecil (sekitar 30-60 cm) dan tidak mudah terdeteksi ketika di laut lepas. Namun, lambat laun amplitudo akan membesar apabila mendekati pantai. Saat mencapai pantai, tsunami kadang menghantam daratan berupa dinding air raksasa (terutama pada tsunami besar), tetapi bentuk yang lebih umum adalah naiknya permukaan air secara tiba-tiba. Kenaikan permukaan air dapat mencapai 15–30 meter menyebabkan banjir dengan kecepatan arus hingga 90 km/jam dan menyebabkan kerusakan dan korban jiwa yang besar.

Proses terjadinya tsunami adalah berawal dari gerakan vertikal pada lempeng yang berupa patahan. Patahan ini menyebabkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba. Dalam fase ini dinamakan gempa bumi. Biasanya gempa bumi terjadi di daerah subduksi (zona pada batas antar lempeng bersifat bertumbukkan satu sama lain). Karena adanya gempa bumi ini pula keseimbangan air di atasnya terganggu sehingga terjadi suatu aliran energi air laut. Energi ini berupa gelombang bergerak menuju pantai yang kerap kita kenal sebagai tsunami. Tsunami yang paling umum adalah gempa bumi bawah laut dengan kekuatan 7,0 skala magnitudo atau lebih. Penyebab lainnya adalah longsor, letusan gunung, dan jatuhnya benda besar seperti meteor ke dalam air. Tsunami menjadi ancaman bencana paling mengerikan di Indonesia sejak melanda Aceh pada tahun 2004 silam. Belum lagi tsunami lain setelah itu, termasuk yang terjadi di Palu pada tahun 2018 lalu. Ketakutan masyarakat terhadap bencana ini sangat tinggi, mengingat dampak yang ditimbulkan sangat mengerikan. Risiko tsunami dapat dideteksi dengan sistem peringatan dini tsunami yang mengamati gempa-gempa berkekuatan besar dan melakukan analisis data perubahan air laut yang terjadi setelahnya. Jika dianggap ada risiko tsunami, pihak berwenang dapat memberi peringatan atau mengambil tindakan seperti evakuasi. Risiko kerusakan juga dapat dikurangi dengan rancangan tahan tsunami, seperti membuat bangunan dengan ruang luas, serta penggunaan bahan beton bertulang, maupun dengan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara menyelamatkan diri dari tsunami, seperti pentingnya mengungsi dan menyiapkan rencana darurat dari jauh-jauh hari.

Demikianlah proses terjadinya tsunami dan upaya menanggulangi tsunami. Ada baiknya apabila kita selalu waspada dengan tanda-tanda bencana dan selalu mempersiapkan upaya preventif agar selalu sigap dalam menghadapi bencana alam sewaktu-waktu. 

Nama : Kheisya Arsanti Putri 

Kelas : XI IPS 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar