Judul Cerpen : Pabrik Darah
Penulis : Hary B Kori’un
Penerbit : Koran Tempo
Tahun Terbit : 2021
Hary B Kori’un ialah
pengarang dari cerpen pabrik darah, lahir di Pati, Jawa Tengah, 1974. Sejak
1992 ia belajar menulis cerpen dan puisi yang dimuat dibeberapa media dan
beberapa buku antologi bersama maupun pribadi. Disamping itu, ia juga sudah
beberapa kali meluncurkan novel. Novel yang sudah terbit antara lain, Nyanyi Sunyi dari Insragiri (2006), Malam, Hujan (2007), Mandiangin (2008), Nyanyian kemarau (2010), dan Luka
Tanah (2014). Kini ia tinggal di Pekanbaru, Riau.
Dia, anak dari
seseorang yang sangat memperjuangkan tanah adat, tanah kaum, tanah komunal yang
tak bisa dengan mudah dipindahtangankan kepada sebuah perusahaan minyak. Perselisihan
sudah ada sejak kebun itu mendapat izin dari pemerintah dengan mengambil
tanah-tanah orang kampung yang menurut peta yang diberikan kepada perusahaan
itu bahwa di lokasi itu tak ada perkampungan. Semuanya hutan belantara. Abahnya
dan beberapa penduduk lainnya sangat marah dan aktif mengumpulkan penduduk yang
tak setuju dengan pembukaan ribuan hektare lahan untuk kebun perusahaan dan
pembangunan pabrik pengolahan.
Para sesepuh adatlah
yang memberikan surat rekomendai kepada perusahaan dan meyakinkan pemerintah
bahwa memang di hutan itu tak ada perkampungan, hutan itu bisa diserahkan
kepada negara untuk tujuan produktif, hutan itu bukan tanah ulayat. Mereka
tergiur dengan imingan dari perusahaan yang akan diberikan. Jumlah penduduk
yang tak setuju berkurang setelah mereka mendapatkan jatah dua hektare kebun
dan mendapatkan hasil perusahaan dari setiap dua hektare kebun mereka setiap
bulannya. Penduduk ta perlu capek bekerja.
Abahnya dan penduduk
kampung yang tak setuju terus melakukan perlawanan untuk menggagalkan pembukaan
hutan untuk lahan kebun perusahaan dan pabrik yang akan dibangun. Mereka
membakar beberapa bagian sisi pabrik dan menebang pohon kelapa sawit yang
berada di sana. Terjadi bentrokan dengan para pekerja. Banyak orang yang
terluka, termasuk abahnya. Dokter tidak
bisa menyelamatkan nyawa abahnya karena mengalami luka yang cukup parah. Dia
sangat marah hingga memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya.
Sejak peristiwa itu,
tak ada lagi perlawanan yang dilakukan penduduk. Pohon sawit tumbuh dengan
daun-daun hijau yang segar. Bangunan besar dengan cerobong asap yang mengepul
di udara yang sudah mulai berproduksi. Seluruh warga kampung hidup dengan
tenang. Mereka banyak membangun rumah dan membeli mobil mewah. Bahkan, penduduk
yang pernah terluka akibat bentrokan akhirnya memilih untuk menerima jatah
plasma dari perusahaan dan hidup lebih tenang.
Tetapi dia dan
keluarganya tetap tidak mau menerima jatah plasma tersebut. Dia tetap bekerja
di kebun peninggalan abahnya meski hasilnya tak terlalu banyak. Menurutnya,
dengan menerima jatah plasma yang merupakan tanah kaum mereka, berarti sama saja
mereka telah meminum darah abahnya. Ini bukan masalah dendam. Namun, Ada banyak
hal yang tak bisa ditukar dengan harta termasuk tanah pusaka yang mereka
miliki.
Beberapa waktu
kemudia, dia meninggalkan kampungnya setelah emaknya meninggal karena demam
berdarah. Entah kemana arah perginya. Dia hanya ingin meninggalkan kampungnya
karena tak kuat menahan rasa sakit atas kematian abahnya. Bertahun-tahun
kabarnya tak pernah didengar lagi oleh penduduk kampungnya. Hanya adiknyalah
yang selalu tahu keberadaannya.
Tiba-tiba, penduduk
kampung dikejutkan dengan kehadirannya. Para penduduk kampung senang atas
kepulangannya. Tetapi, mereka menemukan keanehan dalam tingkah laku dan cara
bicaranya. Keanehan yang membuat mereka merasa takut dan merinding ketika
menatap matanya. Mata yang masih penuh amarah dan dendam.
Saat sebuah truk
tangki minyak lewat, ia berkata “ yang ada dalam tangki di atas truk itu adalah
darah, pabrik itu kini memproduksi darah yang diangkut truk-truk tangki itu. Semua
biji sawit itu mengeluarkan darah, bukan lagi minyak.” Para warga kampung tidak
percaya. Kemudian ia berjalan ke tangah jalan yang berdebu itu dan melihat
tetesan-tetesan yang membasahi jalan yang berasal dari beberapa truk tangki
yang lewat tadi. Warnanya merah serta berbau amis.
Ia berkata lagi “itu
darah para penduduk yang mati mempertahankan tanah leluhur kita yang dirampas
oleh pemilik perkebunan dan pabrik itu. Itu darah ayahku, ayahmu, dan ayah kita
semua. Leluhur kita marah atas apa yang telah mereka lakukan kepada orang-orang
di kampung kita.” Suaranya terdengar dalam. Para warga masih mencerna kejadian
ini karena sangat tak masuk akal.
Tak lama kemudian,
kehebohan terjadi. Seluruh perkerja pabrik pengolahan itu keluar dan berteriak
bahwa pabriknya bukan menghasilkan minyak lagi melainkan darah. Dari kejauhan,
matanya terlihat tajam dan nanar melihat semua itu. Dan perlahan, sebuah
senuman aneh terukir di kedua bibirnya.
Cerpen ini mengangkat
tema tentang menjaga tanah leluhur. Tema tersebut membuka mata kita akan hal
yang tidak boleh disepelekan. Kita harus menjaga keasrian alam, jangan dengan
mudahnya mengubah hutan atau perkampungan menjadi sebuah pabrik yang pastinya
akan menghasilkan limbah yang dapat merusak alam.
Keunggulan lain dari cerpen ini adalah
penggambaran latar suasana yang detail mengenai kondisi pekampungannya. Selain itu,
penggunaan kata ganti orang kedua membuat kita lebih merasakan apa yang terjadi
disana. Kelemahannya yaitu ada beberapa
alur yang dilompati sehingga terkesan “menggantung” dan membuat penasaran akan
hal apa yang dilakukan dia saat pergi.
Cerpen ini cocok dibaca untuk semua kalangan. Didalamnya
mencakup berbagai nilai-nilai kehidupan yang patut dicontoh seperti cinta tanah
air, memperjuangkan tanah adat, solidaritas hingga kekeluargaan terkandung di
dalam cerpen ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar