Kecelakaan Lion Air JT 610

 

Pada hari Senin, 29 Oktober 2018 ada sebuah fenomena dahsyat yang mungkin tidak bisa dilupakan oleh sebagian orang. Sebuah pesawat dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang jatuh di Laut Jawa dengan korban tewas yang hampir mencapai 200 jiwa. Terdapat banyak sekali fakta yang terdapat pada tragedi itu.

 

Pada umumnya industri penerbangan secara garis besar dikuasai oleh 2 perusahaan besar yaitu Airbus yang berbasis di Perancis dan Boeing yang berbasis di Amerika. Kedua perusahaan itu adalah rajanya dunia penerbangan. Tahun 2010, Airbus meluncurkan sebuah desain pesawat baru yaitu A320-NEO yaitu pesawat yang mereka klaim dapat menghemat lebih dari 15% konsumsi bahan bakar. A320 NEO pada dasarnya menggunakan rancangan pesawat lama yaitu A320 dan ditambah dengan mesin yang baru. Boeing tidak tinggal diam mereka meluncurkan sebuah desain pesawat baru yaitu 737 8-MAX satu tahun setelahnya.

Boeing mengklaim bahwa 737 8-MAX memiliki efisiensi yang lebih baik, daya jelajah yang lebih luas, kabin yang lebih kedap, dan kapasitas penumpang yang jauh lebih banyak. Tentu saja dengan fasilitas tersebut membuat Lion Air kepincut untuk membelinya. Permasalahan yang ada pada Boeing adalah mereka tidak memiliki Ground Clearence yang tinggi seperti Airbus. Sehingga mau tidak mau mereka harus mendesain ulang pesawat mereka. Namun, di dunia aviasi mengganti desain ulang pesawat membutuhkan biaya yang sangat besar sekitar 15-20 juta USD.

 

Apa yang dilakukan Boeing justru sebaliknya. Ketimbang mendesain ulang pesawat, mereka justru menaikkan letak mesin yang ada di kanan dan di kiri pesawat. Serta mereka menambahkan sebuah software yang disebut MCAS. MCAS adalah sebuah software yang berfungsi untuk menyetabilkan AoA atau sudut serang yaitu tingkat kemiringan sebuah pesawat yang normalnya berkisar di bawah 20 derajat. Tentu saja itu berpengaruh terhadap keseluruhan pesawat. Ketika pesawat Lion Air JT 610 itu terbang AoA di kanan dan di kiri pesawat itu ternyata bermasalah. MCAS-pun berusaha mengambil alih kendali pesawat yang menyebabkan posisi pesawat terus menukik ke bawah. Ditambah fakta bahwa tidak semua pilot di Indonesia mengetahui bahwa ada software di pesawat mereka. Sehingga kecelakaan itu tak bisa dihindarkan. Fakta yang lain adalah sebelum pesawat itu terbang dari Jakarta ke Pangkal Pinang ada insiden yang serupa ketika pesawat itu terbang dari Denpasar ke Jakarta tetapi saat itu terdapat pilot yang sedang off duty menumpang di pesawat tersebut dan berhasil


mengambil alih kendali pesawat. Selain itu, fakta yang terkuak adalah ketika pilot yang menerbangkan pesawat dari Denpasar ke Jakarta itu tidak melaporkan bahwa ada permasalahan mengenai AoA-nya. Sehingga teknisi di lapangan tidak mengerti bahwa terdapat gangguan pada pesawat itu.

 

Pandangan terkait tragedi tersebut adalah jikalau saja pihak produsen mau untuk menahan agar tetap mendesain ulang pesawat dan memikirkan keselamatan orang banyak. Maka segala kejadian dan tragedi yang tidak kita inginkan dapat diminimalisir.

 

Sumber youtube: Ferry Irwandi

 

 

Aushaf Faros

XI MIPA 3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar