Para peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan banjir rob di sejumlah wilayah pesisir utara Jawa, termasuk Semarang, dipicu oleh faktor cuaca, siklus bulan, hingga penurunan muka tanah dan pemanasan global.D Diketahui banjir rob atau banjir di kawasan pesisir terjadi di Semarang dan sekitarnya sejak Senin (23/5). Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) banjir rob ini belum kunjung surut seutuhnya. Berikut sejumlah pemicunya.
Pertama, siklus bulan. Peneliti dari Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Thomas Djalaludin menjelaskan banjir rob Semarang itu terjadi pada fase perbani akhir. Fase perbani akhir adalah salah satu fase bulan pada saat konfigurasi antara Matahari, Bumi, dan Bulan membentuk sudut siku-siku (90˚) setelah fase bulan purnama. "Rob atau banjir pesisir ini secara teoritis merupakan diferensial garavitasi bulan terhadap bumi, menyebabkkan fenomena pasang surut air laut," ujar Thomas, Kamis (2/6). Ia juga meminta publik mewaspadai siklus bulan lainnya, yakni siklus nodal. Saat ini terjadi, posisi bulan yang miring 5 derajat dari ekliptika (bidang orbit bumi). Bulan akan menjauh atau mendekat dari ekuator (khatulistiwa). Efek dari siklus yang terjadi setiap 18,6 tahun (sekitar 18 tahun 7 bulan 6 hari) sekali itu adalah membuat muka air laut naik dan memicu banjir rob di wilayah pesisir. "Kenaikan pasang maksimum karena siklus nodal 18,6 tahunan. Jadi sekitar 2034 itulah puncak dari siklus nodal yang berpotensi meningkatkan banjir pasang," jelas Thomas. "Banjir pasang [pada 2034] akan lebih tinggi dibandingkan banjir pasang pada umumnya."
Kedua, penurunan muka tanah. Thomas mengatakan, berdasarkan kajian satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), institusi terdahulunya sebelum dipaksa masuk BRIN lewat UU, pantai utara Jawa mengalami penurunan cukup tinggi. "Penurunan muka tanah 0,6 [cm], tapi tertinggi di Pekalongan antara 2,1-11 cm per tahun," lanjut Thomas.
Ketiga, efek badai. Peneliti klimatologi di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin menjelaskan ada dua sel badai terbentuk pada Senin (23/5) pukul 2.00 WIB di utara Jawa, yang mengakibatkan hujan dengan siklus hidup yang lama. "Ada dua sel badai sudah terbentuk pada dini hari jam 02.00 persis di laut utara Jawa, kemudian makin membesar. Itu kalau hujan deras lebih dari 6 jam bisa dikatakan badai yang siklus hidupnya lama," ujar dia, dalam konferensi pers yang sama. Dia mengatakan hujan dengan durasi yang lama di laut itu mengakibatkan tingginya permukaan air laut. Ini memicu banjir pesisir di sekitar wilayah Pantai Utara, salah satunya Semarang. "Jadi ini dihajar badai yang terbentuknya pagi sampai pukul 13.00 masih hujan terus-terusan di laut," katanya. Badai itu berupa hujan deras dan angin kencang yang terjadi secara persisten di Laut Jawa sejak 19-22 Mei. "Badai terbentuk karena pola konektivitas atmosfer di wilayah tropis dan ekstratropis (bagian utara atau selatan bumi)," ujar dia. Di wilayah ekstratropis, terbentuk dua arus sungai di atmosfer (atmospheric river/AR), yaitu di bagian utara (Jepang) dan selatan (Australia). Kedua AR ini dihubungkan gelombang atmosfer bernama Boreal Summer Intra-Seasonal Oscillation (BSISO) yang sedang aktif di India dan Teluk Benggala serta penghangatan suhu permukaan laut dan atmosfer di selatan Indonesia. Akibatnya, AR utara terpecah menjadi dua yaitu menuju Teluk Benggala dan Laut Tiongkok Selatan. AR Laut Tiongkok Selatan ini selanjutnya menuju Laut Jawa dan terhubung dengan AR Australia. "Interaksi ini memicu badai vorteks yang secara persisten terjadi pada 20-22 Mei," tandasnya. Dinamika vorteks itulah, kata Erma, menghasilkan seruak badai berupa awan konvektif skala meso dengan pola tapal kuda yang saling terhubung. Pola ini menyebabkan massa udara lembab terkonsentrasi di barat Indonesia termasuk Laut Jawa dan menyebabkan angin kencang. "Angin kencang inilah yang memicu kenaikan gelombang di Laut Jawa dekat pesisir utara Pulau Jawa dan berkontribusi menyebabkan banjir rob di pantura," kata Erma.
Keempat, pemanasan global. Thomas melanjutkan kenaikan tinggi permukaan air laut juga dipicu oleh mencairnya es dan gunung es di kawasan kutub. "Pulau-pulau kecil dan pantai yang landai berpotensi akan tergenang," ucapnya. Namun demikian, pakar Geodesi dari ITB Heri Andreas mengatakan angka kenaikan air laut itu tak signifikan bila dibandingkan penurunan muka tanah di kawasan pesisir pantura. Yakni, naik 6 mm-1 cm per tahun, menurut pengukuran satelit altimetri. Sementara, penurunan muka tanah pesisir di Semarang, kata Heri, mencapai 10 cm hingga 20 cm per tahun. "Semenjak terjadinya pembangunan yang masif, pembangunan penduduk, ekspolitasi air tanah, mulailah terjadi penurunan tanah, terus berlangsung akhirnya mucul banjir rob menjadi isu cukup besar," ujar Heri, belum lama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar