Tragedi Kanjuruhan

 

    Sepak bola merupakan olahraga yang digemari banyak orang, baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Tidak sedikit orang yang menyukai sepak bola, termasuk negara-negara di Asia Tenggara. Tercatat sekitar  77% penduduk Indonesia menggemari sepak bola (sc:CNN_19-12-2017). Menandakan sepak bola bukan olahraga sembarangan, melainkan olahraga yang memberi dampak positif dan negatif ke banyak orang.

    Baru-baru ini terjadi sebuah peristiwa di Indonesia yang mengguncangkan dunia olahraga sepak bola. Pada Sabtu, 1 Oktober 2022 diadakan pertandingan sepak bola  BRI Liga 1 Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Kerusuhan diawali dengan kalahnya Arema FC dengan skor 2-3. Karena rusuhnya supporter fanatik yang turun ke lapangan, petugas dengan segera turun ke lapangan untuk mengondisikan keadaan.

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan kronologi saat terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Proses pertandingan awalnya berjalan lancar, namun di saat akhir pertandingan muncul reaksi dari suporter atau penonton terkait hasil yang ada. Aparat keamanan lalu melakukan pengamanan terhadap pemain dan Official Persebaya menggunakan 4 unit kendaraan taktis Barracuda meninggalkan Stadion Kanjuruhan. Proses evakuasi berjalan cukup lama, yakni sekitar 1 jam, karena sempat terjadi penghadangan.

    Pada saat bersamaan, penonton semakin banyak yang turun ke lapangan. Saat itu beberapa aparat keamanan mengamankan para pemain Arema FC yang masih ada di lapangan. Beberapa personel polisi akhirnya menembakkan gas air mata. Terdapat 11 personel yang menembakkan gas air mata, ke tribun selatan kurang lebih 7 tembakan, ke tribun utara 1 tembakan, dan ke lapangan 3 tembakan. Tembakan gas air mata dilakukan demi mencegah penonton turun ke lapangan semakin banyak. Setelah gas air mata ditembakkan, para penonton berupaya keluar dari Stadion.

    Saat itu pintu tak dibuka sepenuhnya, yaitu hanya berukuran sekitar 1,5 meter. Saat itu penjaga pintu (steward) juga tidak berada di tempat. Kondisi itu menyebabkan penonton berdesak-desakan karena ada sumbatan di pintu-pintu tersebut hampir 20 menit. Dari situlah muncul korban-korban yang mengalami patah tulang, yang mengalami trauma di kepala (torax), dan juga sebagian besar yang meninggal mengalami asfiksia.

    Berdasarkan olah TKP, lanjutnya, PT LIB selaku penyelenggara Liga 1 tidak melakukan verifikasi terhadap Stadion Kanjuruhan. Verifikasi terakhir dilakukan pada 2020 dan ada beberapa catatan yang seharusnya dipenuhi, khususnya terkait dengan masalah keselamatan bagi penonton. Namun, pada 2022, PT LIB tidak melakukan verifikasi. PT LIB juga menggunakan hasil yang dilakukan 2020 dan belum ada perbaikan terhadap catatan hasil verifikasi tersebut. Akibat insiden tersebut, ada 131 orang yang meninggal dunia. Selain itu juga ada lebih dari 100 orang yang mengalami luka-luka. Atas kasus ini, polisi menetapkan 6 orang sebagai tersangka. Mereka terdiri dari pihak PT LIB, penyelenggara pertandingan, pihak panitia keamanan, hingga pihak kepolisian.

    Tentu pertandingan ini tidak sebanding dengan ratusan korban yang tewas. Gelanggang olahraga seharusnya membawa persatuan bagi penikmatnya, bukan perpecahan. Seharusnya baik penyelenggara, petugas, dan penonton lebih mengutamakan kemanusiaan dibandingkan ego masing-masing. Semoga di masa depan tidak terjadi peristiwa seperti ini lagi, aamiin.

 

ThufailXImipa3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar