Saat itu Aku sedang menikmati liburan untuk kenaikan kelas 1 SD. Ibuku membuatkanku mi rebus yang aku minta. Ayahku berada di ruang tamu. Aku sedang menonton televisi di ruang tengah.
Hari itu terasa seperti biasanya dan tidak ada masalah sedikit pun. Namun, terlalu lama berada di depan televisi membuatku jenuh. Aku pun pergi ke halaman belakang. Di halaman belakang aku asyik bermain dengan ayam-ayamku. Nenekku sangat suka memelihara ayam sehingga ada banyak ayam di rumahku.
Selain ada banyak ayam, di halaman belakangku tumbuh sebuah pohon mangga yang sangat tinggi. Pohon mangga tersebut ditanam oleh kakekku sejak nenek buyutku masih muda sehingga pohon kini sudah besar tinggi.
Di tengah asyiknya bermain dengan ayam, aku melihat ada seekor Ayam yang sedang berjalan menuju sebuah tempat yang agak tinggi. Tembok batu bulat seperti meja. Tempat itu ditutupi beberapa seng yang ditumpuk.
Tanpa berpikir panjang, aku mengikuti ayamku untuk menangkap Ayamku. Aku berdiri tepat berada di atas seng. Tiba-tiba seng tersebut Runtuh.
Bruggg…..
“Tolong….!” Teriakku bersamaan badanku masuk ke air. Rupanya Itu sumur tua. Seng yang digunakan sebagai penutup sumur telah Rapuh. Aku sadar bahwa aku benar-benar sedang berada di dalam Lubang mengerikan tersebut.
”Mamah… Mamah…!” panggilku dengan keras. Namun, sekeraskerasnya anak TK, entah ada tidak yang mendengar.
Tubuhku kecilku tenggelam, bahkan kepalaku ikut masuk air. Aku berusaha untuk naik. Namun, apalah daya aku, tidak bisa untuk memanjat hingga atas. Aku hanya bisa berdoa dan berusaha untuk enyangga badanku dengan kedua kaki dan tangan.
Mamahku yang sedang menyapu lantai, mendengar suaraku. Mamah segera menuju ke sumur seolah ada yang memberitahu kalau Aku terperosok ke dalam. Aku yakin Allah yang menggerakkan kaki Mamahku.
“Ya Alllah, Nak? Kamu di dalam sana?” Mamah yang melihatku di dalam sumur langsung menangis dan menjerit.
“Ayah… Ayah….! Cepat tolong Harvan, Yah!” teriak Mamah panik.
“Ada apa, Mah?”
“Harvan masuk sumur, Yah. Cepat cari bantuan!”
Ayah segera keluar mencari bantuann kepada warga sekitar.
“Tolong… tolong…!” Suaraku bersautan dengan suara ayah di luar. Aku mulai lemes dan kedinginan. Di dalam sumur aku sempat pingsan sebentar lalu aku berusaha naik. Namun, tetap saja aku tidak bisa. Aku berusaha menempelkan tubuhku ke dinding sumur agar kepalaku sedikit terangkat sehingga bernafas.
“Tolong… tolong anakku!”
Tidak seperti biasanya, keadaan di sekitar rumahku yang biasanya ramai, siang itu sepi sekali. Ayah panik tidak melihat bapak-bapak di sekitar rumah.
Alhamdulillah, ada seorang tukang sampah bersama anaknya lewat depan rumahku.
“Pak, Pak…, tolong, tolong Pak. Anak saya masuk sumur.”
“Innalillahi, mari Pak saya bantu.” Dengan serta merta tukang sampah dan anaknya lari menuju rumahku.
“Tolong…, ada anak jatuh ke sumur…!” teriak tukang sampah keras sekali. Seketika itu warga berhamburan ke rumahku. Rumahku penuh orang yang akan menolongku; ada yang mengambil tangga; dan ada yang berusaha mengulurkan tangan dari atas menggapai tanganku. Namun, itu sia-sia karena sumur cukup dalam. Sesekali aku melihat ke atas dan setiap aku melihat ke atas semakin bertambah jumlah orang yang melihatku.
Kegelisahan terlihat di raut wajah mereka, terutama ayah dan mamahku. Kulihat mamah menangis tak henti-hentinya. Nenekku yang baru terbangun dari tidur siangnya terus-menerus menangis ketika melihat kondisiku di bawah.
Sementara itu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menyelesaikan masalah besar ini. Aku sudah tidak tahan lagi untuk menyangga tubuhku. Kedua tangan dan kakiku mulai mati rasa. Orang-orang pun semakin khawatir ketika melihat badanku yang semakin melemah. Aku terus berdoa kepada Allah agar diselamatkan dari bencana ini.
Tiba-tiba datang seorang anak muda yang bekerja sebagai buruh bangunan. Kemudian dia segera masuk ke sumur dengan gesit meloncat dan merayap layaknya spaidermen. Dia kemudian jongkok di hadapanku dengan bertumpuan pada batu bata yang terpasang di dinding sumur.
“Naiklah ke atas pangkuanku, Dik!” kata pemuda tersebut sambil menepukkan tangan ke pahanya.
Aku pun langsung naik ke atas pangkuan pemuda tersebut. Setelah dekat dengan bibir sumur, tanganku kujulurkan ke atas dan orang-orang di atas sumur berusaha menggapai dan menarikku keluar dari sumur.
“Alhamdulillah…,” kata semua yang menyaksikanku. “Kamu selamat, Van. Alhamdulillah, Ya Allah,” peluk nenek dan mamahku yang masih menyisakan air mata di kedua pipi mereka.
Mamah langsung memeluk dan menggendongku meninggalkan sumur itu. Mamah segera membersihkan dan memandikanku.
”Wajahmu pucat sekali, Van,” kata mamah.
Aku cuma bisa diam seribu bahasa, tak bisa bicara apa-apa.Aku sangat syok. Mamah pun tak bertanya apa-apa lagi padaku. Aku dipeluk dan terus dipeluk mamah.
Setelah aku ganti baju aku menuju ke teras bersama mamah sambil membawa mi rebus yang hangat. Namun, setelah aku sampai di teras, betapa terkejutnya aku. Kulihat puluhan anak seusiaku dan yang lebih tua dariku berkumpul di depan teras. Mereka teman-teman mainku yang ingin mengetahui kondisiku. Ibu mempersilakan mereka masuk untuk menemuiku. Kuucapkan terima kasih pada mereka atas simpatinya kepadaku. Mereka menghiburku dan menemaniku.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, sebagai wujud syukur kepada Allah atas keselamatanku, ayah dan mamah mengadakan syukuran di rumah dengan dihadiri tetangga dan warga sekitar. Terima kasih ya Allah, Engkaulah Yang Maha Penolong.
Sepekan kemudian, ayah memasang teralis penutup sumur. Meski sumur sudah ditutup teralis besi, mamah masih trauma dengan kejadian mengerikan yang menimpaku. Ketika aku sedang bermain dan mamah mencariku, mamah selalu menoleh ke arah sumur meskipun sumur sudah diteralis.
Harvan Dwi Aufaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar