Amplop Berisi Uang
Ini adalah cerita tentang dua anak dengan kehidupan yang berbeda antara keduanya. Yang satu adalah seorang anak yang hidup dengan dilingkupi kekayaan, ia tinggal di rumah besar dengan halaman sangat luas bak taman kota dan senantiasa dimanja oleh orangtuanya. Sedangkan yang satunya adalah seorang anak yang bisa dibilang kurang berkecukupan, ia tinggal di rumah yang kumuh dan sempit namun dilingkupi kehangatan dan kasih sayang kedua orangtuanya.
Pada hari Sabtu di Sekolah Harapan Bangsa, hari itu sedang diadakan donasi bagi seluruh warga sekolah. Apa saja boleh disumbangkan, mau barang yang sudah tidak terpakai ataupun dalam bentuk uang. Tapi, rata-rata para murid menyumbang dalam bentuk uang yang dimasukkan amplop. Jam 06.30, sekolah sudah ramai oleh murid-murid yang mulai berdatangan. Terutama di kelas 6A. Seorang gadis bernama Keira tengah menghampiri gadis lain yang sedang duduk di bangkunya.
"Hei Rima! Kamu menyumbang uang berapa?" Sahutnya kepada gadis tersebut.
"Aduh Keira kamu ngapain nanya ke dia, sih? Sudah pasti dia hanya menyumbang sedikit," anak yang datang bersama Keira tertawa cekikikan.
"Yah, apa salahnya bertanya. Sini aku mau lihat dong," ucap Keira berusaha merebut amplop dari Rima.
"Ehh jangan dong, kamu nggak boleh merebut barang milik orang lain!"
"Iihh aku mau lihat doang, kok. Masa nggak boleh."
Pada akhirnya amplop tersebut berhasil direbut Keira. Ia merobek amplop milik Rima dan menemukan uang dengan nominal 20.000 di dalamnya.
"Ya ampun Rima, kamu pelit banget, sih. Masa cuma nyumbang 20.000. Kalo mau berbuat baik itu jangan setengah setengah, kayak aku dong nyumbang langsung 500.000."
Keira sengaja mengeraskan suaranya agar semua anak yang ada di kelas bisa mendengarnya. Rima yang tidak tahan dengan kelakuan Keira segera merebut kembali amplop miliknya.
"Yahh nggak seru! Sudahlah Keira kita keluar saja."
Setelah diajak temannya, Keira pun keluar dari kelas meninggalkan Rima yang menahan gejolak hatinya.
Kriinggg...
Bel tanda masuk telah berbunyi. Para murid yang sedang bercengkerama di luar bergegas masuk ke dalam kelas. Setelah berdoa bersama, tiba waktunya untuk mengumpulkan uang donasi.
"Yak anak-anak silahkan kumpulkan uang yang telah kalian bawa ke depan sini!"
Ibu guru memerintahkan siswa-siswi untuk menyerahkan amplop mereka. Semua anak bangkit dari bangku mereka menuju meja guru termasuk Rima meskipun amplopnya telah robek. Tiba-tiba, terdengar suara dari bangku paling belakang.
"Aduhh gimana nih, amplopku hilang! Padahal aku yakin tadi kutaruh di saku rok. Kok bisa nggak ada sih?!"
"Apa? Amplopmu hilang, Keira?" Ibu guru memastikan seraya berjalan ke arah Keira.
"Iya, Bu. Jelas-jelas tadi masih ada, tapi sekarang hilang! Huhuhu... gimana dong..," jawab Keira sesenggukan
"Sudah, sudah. Kamu tenang saja, ibu akan bantu carikan. Semuanya ayo kita bantu Keira menemukan amplopnya, ya?" Ajak Ibu guru kepada para siswa.
"Yaa, Bu."
Hanya beberapa murid yang menjawab ajakan Ibu guru. Itu karena sebagian dari mereka sudah tahu kelakuan buruk Keira sehingga enggan membantunya. Akan tetapi, tak seperti yang lainnya, Rima bersedia untuk membantu mencari amplop milik Keira meskipun ia selalu diganggu oleh Keira dan temannya.
"Rima, kenapa kamu ikut bantuin Keira? Dia kan sukanya gangguin kamu," tanya salah seorang teman sekelas Rima.
"Itu nggak ada hubungannya dengan ini. Karena toh uang itu juga bakal dikasih ke orang yang membutuhkan," jawab Rima dengan tegas.
Ia kembali mencari-cari di seluruh sudut kelas. Hampir setengah jam mereka mencari di kelas tapi tak kunjung ketemu. Tiba-tiba, muncul pikiran di dalam kepala Rima.
"Keira, tadi pagi sebelum bel berbunyi kamu pergi ke mana?" Tanya dirinya kepada Keira.
"Buat apa kamu nanyain itu?" Jawab Keira dengan ketus.
"Sudahlah, jawab aja pertanyaanku. Kamu mau uangmu kembali kan?"
"Emm.. tadi pagi aku sama Gaby pergi ke kantin membeli bakso."
Nah, itu dia! Batin Rima dalam hati.
Ia segera berlari menuju kantin yang terletak di bagian belakang gedung sekolah. Tapi, walaupun sudah dicari dengan sungguh-sungguh amplop itu tetap saja tidak ditemukan.
"Dik, lagi cari apa?" Penjual bakso yang memerhatikan Rima sejak tadi bertanya kepadanya.
"Itu, saya sedang mencari amplop. Apa bapak melihatnya?"
"Oohh... amplop. Tadi ada guru yang menemukannya di salah satu kursi dan bertanya ke bapak. Bapak hanya menjawab kemungkinan itu milik murid yang sebelumnya duduk di situ. Lalu guru itu bilang akan membawanya untuk mencari pemiliknya," jelas bapak itu panjang lebar.
"Apa bapak tahu siapa guru itu?"
"Hmm... siapa, ya? Yang saya ingat guru itu membawa buku matematika kelas enam."
Oh, Pak Anwar!
Satu-satunya guru matematika di kelas enam hanyalah beliau.
"Terimakasih, Pak!" Setelah mengucapkan itu, Rima langsung berlari menuju ruang guru.
Tok...Tok...
"Permisi, saya mau bertemu dengan Pak Anwar."
"Oh, silakan masuk. Meja beliau ada di sebelah situ."
"Pak Anwar, maaf mengganggu waktunya."
"Ada apa, nak?"
"Itu, amplop yang bapak temukan di kantin tadi milik teman saya."
"Hah? Tidak mungkin. Isi amplop tersebut banyak sekali, loh. Apa kamu yakin?"
"Saya yakin, Pak. Tapi, bagaimana bapak bisa tahu?"
"Tentu saja saya tahu. Amplop tersebut tidak direkatkan. Ya sudah, panggil temanmu itu ke sini!"
Rima pun memanggil Keira di kelas dan memintanya untuk pergi ke ruang guru.
Beberapa menit kemudian, Keira kembali ke kelas dengan wajah lesu dan mata yang sembap. Ia menghampiri Rima yang sedang duduk di bangkunya.
"Emm... Rima. Begini, a-aku mau minta maaf ya sudah gangguin kamu. Kamu mau maafin aku, kan?"
"Hahh... sudahlah nggak apa-apa. Lagian aku juga nggak terlalu mikirin."
"Eh, beneran? Itu... aku juga mau bilang makasih tadi sudah bantuin nyari uangku."
"Iya, sama-sama. Aku nggak keberatan, kok."
Setelah kejadian yang menghebohkan itu, Keira tidak lagi mengganggu Rima. Orang-orang bilang itu karena nasihat ampuh dari Pak Anwar. Meskipun sifat sombongnya masih sedikit tersisa, namun setidaknya kelas menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Rima dan Keira pun sudah tidak bermusuhan dan mulai mengobrol bersama.
Oleh: Nadiya Aulia Rahma, XI MIPA 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar