Hari Yang Sial

Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Biasanya aku berkeliling desa menggunakan motor bersama adikku. Cuacanya saat itu terang menuju gelap. Aku bergegas mengajak adikku untuk ikut mengendarai motor bersamaku. Tidak lupa aku mengingatkan adikku untuk membawa beberapa snack ringan. 

Setelah dirasaya cukup, kami berangkat. Saat mengendarai motor, tidak ada hal yang aneh yang mungkin saja bisa membuat aku dan adikku terluka. Di perjalanan kami sangat gembira karena cuacanya saat itu cerah. 

Singkat cerita kami sudah sampai di lokasi yang ingin kami tuju. Lalu kami duduk dan bersantai-santai di motor sambil menikmati indahnya sawah. Hati sangat gembira, aku dan adikku bisa melihat sawah yang indah dan merasakan sepi dari kendaraan yang lewat serta menikmati udara yang sejuk. Apalagi ditemani snack ringan. Rasanya hari hampir gelap. Aku mengajak adikku untuk segera pulang. Sebelum sampai di rumah, biasanya aku mengendarai motor ke bangunan sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah. Seperti biasanya aku hanya berkeliling mengitari sekolah itu, sekadar melihat-lihat saja. Namun hal yang tidak di inginkan terjadi. 

Sret sret….

Motor yang aku tumpangi bersama adikku tergelincir saat hendak berbelok keluar dari sekolah dikarenakan banyak pasir. 

“Tolong…!” teriak adikku yang kaget atas kejadian itu. Karena posisiku di depan, aku lebih siap saat mau jatuh. Sebenarnya aku sudah memiliki firasat tidak enak saat memasuki kawasan halaman sekolah itu. Namun, namanya kecelakaan tidak ada yang tahu. Kami pun terjatuh dari motor. Beruntung adikku hanya luka ringan karena sempat saya lindungi dari benturan tanah. Nasib buruk menimpaku karena luka goresan di lututku dan kulit di siku kanan terkelupas. Hal itu membuat tangan dan kakiku berdarah cukup banyak. Aku berusaha menyingkirkan motor yang aku tumpangi ke pinggir sekolah. Namun, ada lagi yang menghalangiku untuk segera pulang.

“Aduh… aduh, tanganku”

“Ada apa, Kak?” tanya adikku bingung.

“Aduh, kakiku juga…!” teriakku sambil nyengir menahan sakit.

“Kenapa, Kak? Huhu…!” Adikku makin panik.

“Tangan dan kakiku keram. Kita istirahat dulu, ya…,” pintaku kepada adik.

Kami pun duduk di bangku yang ada di halaman sekolah tersebut. Aku bisa beristirahat sejenak sembari menahan rasa sakit di tangan dan kakiku. Setelah beristirahat cukup lama, aku dan adikku langsung pergi ke tepi sungai. Meski menahan sakit, aku masih bisa mengendarai motorku. Lalu, aku membasuh darah yang ada di setiap luka. Setelah di rasa sudah cukup membasuhnya, aku dan adikku pulang ke rumah. Aku pun pulang dengan rasa takut dimarahi karena kejadian ini baru pertama kali aku alami dalam seumur hidupku. Berkecamuk rasa khawatir di dalam pikiranku. Sempat terlintas aku dimarahi karena aku mengajak adik. Ternyata aku bukan kakak yang baik, tidak bisa menjaga adik.

“Ya Allah, ada apa ini, Ata? Tangan dan kakimu berdarah?” Budhe bertanya dengan pertanyaan hyang tiada henti. Padahal aku belum selesai menghentikan motor di depan rumah. 

Waktu itu hanya budheku yang berada di rumah, sedangkan orang tuaku masih bekerja. Budheku langsung mengobati lukaku dan adikku dengan betadine sambil terus bertanya-tanya. 

Malam pun tiba. Kedua orang tua kami sudah pulang. Alhamdulillah orang tuaku bisa memaklumi kejadian yang aku alami. Semenjak sore itu, aku sudah tidak pernah ke sekolah itu lagi. Takut kejadian naas itu terulangi lagi. 

”Ayah, kenapa pasir bisa membuat motorku jatuh?” tanyaku penasaran.

“Karena pasir bisa membuat daya cengkeram ban menjadi tidak berfungsi atau dengan kata lain selip.”

“Begitu ya, Yah?”

“Oya, Kakak naik motornya tunggu umur 17 tahun, ya! Biar nggak jatuh lagi,” pesan Ayah dengan tersenyum.

“Benar itu, Kak,” tambah Mamaku sambil tertawa meledek.

Ata aisyi afrah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar