JEJAK PERSAHABATAN
Desta Putra Samudra
Teringat saat itu ketika aku dan Iwan pergi untuk berjalan-jalan mengelilingi desa dengan sepeda. Kami berhenti di depan warung kecil berniat membeli sebungkus mi instan. Kami patungan lima ratusan untuk membeli sebungkus mi instan yang kala itu harganya 1.500 rupiah. Lalu kami menawar kepada penjaga warung karena uang kami kurang.
Kami pun dengan bahagia bisa makan sebungkus mi instan dalam keadaan mentah. Dengan tangan yang sambil mencangking sebungkus mi, kami melanjutkan bersepeda berkeliling desa.
Kami pun sampai ke pinggiran sungai. Sontak muncul di pikiran kami untuk berenang di sungai itu untuk mendinginkan badan dari panas terik matahari. Saat itulah aku dan Iwan menyandarkan sepeda kecil kami di sebatang pohon lalu kami dengan cepat langsung membuka baju. Kami saling menunjuk untuk duluan melompat ke dalam aliran air dengan arusnya yang lumayan deras itu.
“Ayo Wan, kamu duluan yang lompat!” perintahku.
“Nggak maulah, kamu kan lebih tua,” sahutnya sambil sedikit kesal. Aku yang merasa lebih tua pun mengalah. Kami satu per satu lompat ke dalam sungai. Tetapi kenikmatan berenang dan merasakan segarnya air sungai itu seketika sirna. Dengan mata yang sayup terguyur air aku melihat Pak Budi, ayah Iwan, berjalan ke arah kami. Dengan wajah jengkel dan marah Pak Budi yang melihat kami berenang di sungai mendekat dan mempercepat langkahnya.
“Cepat naik atau bapak yang tarik kalian!” bentaknya sambil bersiap turun ke sungai untuk menarik kami. Benar saja kami berdua langsung ditarik keluar sungai. Aku pun dibawa olehnya dengan kondisi menangis dan napas yang tersengal-sengal. Begitu juga dengan Iwan. Terlebih dia yang anaknya Pak Budi. Jelas lebih kuat ditariknya.
Aku pun pulang dengan keadaan basah kuyup sambil menyeret sepeda kecil milikku. Dan di depan rumahku sudah ada ibu berdiri dan terlihat sedikit marah juga. Tampak dari raut wajahnya.
“Makanya dengerin ibu. Dibilangin jangan mandi di sungai, tidak nurut!” ucap ibu dengan sedikit kesal.
Saat itulah aku mengerti kenapa Pak Budi sangat marah saat mengetahui anak-anak berenang di sungai itu. Ia tak ingin kami yang badannya kecil-kecil karena baru kelas 2 SD ini celaka kalau terbawa arus sungai itu.
Persahabatan kami terus berlanjut sampai kami beranjak ke jenjang SMP. Saat itulah masa yang sangat berarti bagi kami. Kami selalu berangkat menuju sekolah bersama-sama. Naik sepeda beriringan, sepedaku hitam dan ia menggunakan sepeda hijau kesayangannya. Pulang sekolah kami berjalan-jalan menggunakan sepeda sembari menikmati angin sore.
Dalam kesempatan lain, kami sering pergi ke masjid bersama untuk shalat subuh, masih dengan sepeda kesayangan. Pulangnya jalan-jalan menjemput sunrise.
Akan tetapi pada suatu ketika, tiba-tiba aku menerima telepon dari Danu, adiknya Iwan.
“Mas Putra, em... Kak Iwan, Kak Iwan….”
“Kak Iwan kenapa, Danu?’ tanyaku tidak sabar.
“Kak Iwan… Kak Iwan meninggal tadi pagi, Mas,”
“Jangan bercanda kamu! Kakakmu meninggal kenapa?” tanyaku antara panik dan tidak percaya.
“Ditabrak mobil.” Ia terdengar berjuang keras untuk menuntaskan kalimatnya. Namun demkian, di ujung ucapannya tetap saja terdengar tangisnya pecah.
Aku seketika terdiam membisu. Langsung aku memacu sepeda bututku menuju rumahnya dan benar saja. Di depan rumahnya sudah terkibar bendera putih. Kulihat ada mobil pickup yang mengangkut sepeda hijau yang bentuknya sudah tak karuan.
Lalu aku beranjak masuk ke dalam rumahnya. Sudah terbujur kaku jenazah di dalam keranda lengkap dengan kain hijau yang menyelimutinya. Tidak jauh darinya terdengar suara isak tangis ibunya Iwan yang biasa kupanggil Lik, diiringi lantunan surat Yasin dari orang-orang yang hadir.
Di sampingnya duduk seorang laki-laki berumur sekitar 25 tahun tiada henti-hentinya meminta maaf kepada Bulik. Kulihat raut wajah Bulik seperti menahan amarah. Rupanya orang tersebutlah yang sudah menabrak Iwan. Aku yang sudah dianggap keluarga oleh mereka pun menghampiri Bulik untuk menyalaminya.
“Lik.” Cuma itu yang kuucap sambil mencium punggung tangannya. Aku tidak terampil menyampaikan ucapan bela sungkawa. Tidak paham. Meskipun tanpa balasan suara, aku mengerti maksud ibunya Iwan. Ia mengusap kepala dan pipiku. Linangan air mata di pipinya semakin deras.
Setelah acara pemberangkatan jenazah selesai, aku tidak ketinggalan turut serta ke kuburan untuk memakamkam jenazah Iwan.
“Selamat jalan Iwan, sahabatku. Terima kasih,
pernah berpetualang bersamamu,” bisikku lirih saat aku berdiri di depan
makamnya. Jejak Persahabatan 15 Setelah pulang, aku menenangkan pikiranku
dengan menunaikan shalat maghrib dan berdoa untuk sahabatku agar ia diterima
disisiNya dan Allah ampuni dosa-dosanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar