Pada hari Rabu, 11 September 2019, tepatnya pada pukul
17.45, setelah aku selesai mandi, aku berangkat ke masjid
untuk melaksanakan shalat magrib dan Isya berjamaah.
Aku berangkat ke masjid dengan mengendarai sepeda
karena jarak antara rumahku dengan masjid agak jauh dan tidak lupa
aku membawa jam tangan karena menurutku jam tangan merupakan
salah satu barang yang aku anggap penting. Apabila aku berpergian,
aku selalu memakai jam tanganku. Aku pergi ke masjid memakai jam
tangan hanya untuk melihat waktu karena kebetulan di masjid itu tidak
ada jam dinding.
Setelah aku sampai di masjid, ternyata teman-temanku sudah
sampai duluan kemudian aku dan teman-teman mengambil air wudu.
Waktu sudah menjelang shalat magrib.
Setelah wudu, aku dan teman -temanku masuk ke dalam masjid
dan aku mendapat giliran untuk mengumandangkan azan. Setelah
semua jamaah sudah berkumpul, akhirnya ibadah shalat magrib
dimulai dan aku meletakkan jam tanganku di jendela masjid. Hal ini
aku lakukan karena pada saat kita shalat kita tidak boleh mengenakan
barang yang bisa mengurangi kesempurnaan dalam beribadah. Aku
taku pas shalat aku melirik dan mengamat-amatii jam tanganku.
Shalat magrib selesai, aku dan teman-temanku membaca Al
Qur’an.
“Fahmi, boleh lihat jam tanganmu, nggak?” tanya Fabio setelah
kami selesai mengaji.
“Jam tanganke di jendela tadi,” jawabku.
“Fahmi, nggak ada jam tanganmu,” ucap Fabio mengagetkanku.
“Yang bener, kamu,” sahutku.
“Lihat saja, nih!”
“Aku nggak ngerti, bukan aku,” kata teman-temanku yang lain
bergantian.
“Mungkin dipinma Noah tanpa sepengetahuanku,” kataku.
“Waktu kita membaca Al Qur’an, dia tidak ikut membaca, kan?”
Teman-temanku semua terdiam.
Menjelang shalat isya, kami mengambil air wudu. Setelah
itu temanku yang bernama Safik mendapat giliran untuk
mengumandangkan azan.
Sehabis shalat isya, aku tidak langsung pulang, tetapi aku mampir
dulu ke rumah Noah untuk menanyakan jam tangan yang dia pinjam.
“Aku nggak ngambil, malah malah kapan-kapan aku pingin
lihat jam tanganmu. Tadi aku belum sempat.” Katanya mmebuat aku
tambah bingung.
“Emangnya jam tangan yang aku letakkan di jendela masjid tidak
kamu pinjam?”
“Enggak, kok. Aku nggak pinjam.”
Kemudian aku kembali ke masjid untuk mencari jam tangan yang
aku letakkan di jendela sambil membayangkan bagaimana jika jam
tanganku tidak aku temukan. Itu jam tangan yang mahal dan bagus.
Sesampai di masjid, aku ke arah jendela lagi dan tidak ada. Benar-
benar jam tanganku tidak ada.
“Mungkin aku salah ingat atau mungkin aku taruh di tempat aku
mengambil air wudu?” Kemudian aku mencarinya ke tempat aku
mengambil air wudu. Ternyata juga tidak ada. Sekarang aku tambah
bingung dan aku kembali ke rumah Noah. Aku ceritakan bahwa jam
tangan hilang dan aku tidak berani pulang ke rumah karena nanti akan
dimarahi bapak dan ibuku karena keteledoranku.
Akhirnya aku dengan rasa takut memutuskan untuk pulang karena
sudah larut malam.
“Katanya jam tangan kamu hilang?” tanya ibu.
“Ya,” jawabku dengan menundukkan kepala.
“Kok bisa hilang, emangnya kamu taruh di mana?”
Aku menjelaskan kepada bapak dan ibuku kejadian selengkapnya.
Bapak dan ibu menasihatiku panjang lebar. Aku tidak berani menjawab
karena semua salahku.
Aku menuju ke kamar tidur setelah ibu menyuruhku untuk
istirahat. Namun, aku tidak bisa tidur karena aku memikirkan jam
tanganku yang hilang.
“Kenapa kamu belum tidur?” tanya bapak yang tiba-tiba masuk
ke kamarku.
“Masih kepikiran jam tangan yang hilang, Pak, “ jawabku.
“Sudah, kamu tidur dulu. Masalah jam tangan nanti bapak
pikirkan. Jika bapak sudah punya uang, bisa beli lagi.”
Bapak sangat baik, kalimatnya membuatku lega. Akhirnya aku
bisa tidur dengan tenang.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada hari Sabtu, 14 September
2019, aku dibelikan jam tangan baru. Meskipun jam tangannya tidak
sebagus yang hilang, aku sudah bersyukur karena sudah dibelikan jam
tangan lagi.*
Fahmi Ibnu Nugroho
XI MIPA 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar