Pusat Kesejahteraan Sosial

   


Hari ini adalah hari terakhir. Tidak, ini harus menjadi hari terakhirku disini. Bukan aku juga yang ingin berada disini. Benar, aku pasti diculik. Jika dipikirkan, semua rencana kaburku gagal. Dan setiap aku gagal, aku diberi 'hukuman' yang sudah merusak mentalku. Kenapa aku harus kabur dari sini? Karena.. Ini adalah tempat paling gila yang aku ketahui. 

    "Ketua, ini sudah jadwalnya kita untuk pergi makan siang." Ya, aku ketua di kamar 301. Setiap kamar di Puskesos wajib memiliki ketua yang dimana ia harus hafal segala jadwal, bertanggungjawab untuk semua anggotanya, dan melaporkan kegiatan anggota pada petugas masing-masing kamar. Di kamar 301 beranggotakan seorang nenek tua mantan begal terkenal didaerah XX, seorang ibu yang kehilangan anaknya saat melahirkan, kami memanggilnya Bu Ija. Ada pula dua mahasiswi yang memutuskan kabur ke sini daripada berkuliah di suatu kampus ternama, satu yang berambut pendek bernama Vivi, satu yang memiliki ikat ekor kuda bernama Tari. Ah ya, satu lagi, seorang tunawisma yang benar-benar tidak mengerti apa-apa, Maria. Untuk petugas kamar 301 bernama Petugas Ning. 

    Makan siang kali ini cukup tenang. Tidak ada yang membuat keributan. Kini kami semua sibuk dengan pikirannya masing-masing dan takut karena kini jumlah orang di Puskesos berkurang tiap jamnya! Ada yang mengatakan mereka sudah pergi dari sini, ada juga yang mengatakan mereka dibawa ke ruang bawah tanah. Selesai makan siang, kami beristirahat sejenak di kamar masing-masing, sampai salah satu petugas datang ke kamar kami untuk memberikan perintah. 

    "Ketua, apakah Anda masih ingin kabur dari sini?" tanya si nenek. 

    "Iya, Nek. Tekadku sudah bulat walaupun gagal aku juga tidak akan menyerah,"

    "Sebelum itu, Nenek boleh minta tolong satu hal padamu?"

    "Aaah, tentu saja boleh apapun untuk Nenek," 

    "Ini bukan untuk nenek, ini untuknya." Nenek merangkul Bu Ija. 

    Bu Ija meminta ku untuk mencari anaknya yang ada di gedung sebelah, gedung khusus tempat tinggal pria dan memberitahu Petugas Ning harap harap ia bisa membantu kami. Yang Ibu Ija ketahui hanyalah anaknya yang berjenis kelamin laki-laki dan jika sudah besar, anaknya akan ditempatkan di Puskesos ini juga karena Bu Ija melahirkan anaknya disini. Untuk membantunya, aku meminta petugas Ning untuk mencarikan cara agar aku bisa pergi ke gedung sebelah tanpa ketahuan CCTV dan juga petugas lain. 

    "Bisa saja sih tapi.. Kamu tahu 'kan apa imbalannya?" ucap Petugas Ning sambil senyum menyeringai. 

    "Iya, aku tahu, memberikan barang bukti kepada pendiri Puskesos tentang kesepakatan Vivi dan Petugas Ari yang dianggap ilegal di Puskesos." Petugas Ning tersenyum sembari mengambil kotak besar berisikan beberapa baju petugas Puskesos. Ya, aku harus menyamar dengan perlengkapan itu. 

    "Lagipula dengan melakukan itu, juga untuk kebaikanmu sendiri, betul? Kamu ingin keluar dari sini 'kan."

    Setelah dua jam lamanya, aku dan Petugas Ning berhasil membawa anak Bu Ija. Kami menaruhnya di kamar yang sangat tersembunyi. 

    "Bu Ija, anak Anda ada di dalam," aku bisa melihat mata Bu Ija yang hampir meneteskan cairan bening dari matanya yang berbinar. 

*Krieet*

    "HUWAAAAAA!!" terdengar teriakan ketakutan Bu Ija. Aku dan Petugas Ning dengan cepat masuk ke kamar. Pasalnya, Bu Ija terkejut dengan kondisi anaknya yang bermata satu, memiliki banyak bekas jaitan di bagian perut, dan memiliki autisme. 

    "Ini.. Bukan ANAKKU!! DIMANA ANAKKU!! Jangan sembunyikan dia, beritahu aku!!" Bu Ija langsung diamankan oleh beberapa petugas lain yang sudah diperintahkan oleh Petugas Ning. 

    "Ini memang anaknya, sepertinya ia belum siap menerima kebenarannya," ucap Petugas Ning sambil menggendong anak Bu Ija. Aku yang bingung diam mematung. 

    "Aku punya ponselku. Didalamnya ada file video berisi perbincangan Vivi dan Petugas Ari. Kenapa Anda sangat menginginkan ini, Petugas Ning?" 

    "Kamu tahu 'kan Petugas Ari memiliki jabatan tertinggi setelah pendiri poskesos? Nah, aku sangat ingin mendapatkan jabatan itu. Satu-satunya agar ia tersingkirkan dengan menunjukkan ini," ucapnya sambil menunjuk ponselku. 

    "berikan itu pada pendiri poskesos, Bu Lia. Beliau ada di ruang bawah tanah." lanjutnya seolah mengusirku. Aku pun pergi dari ruangan Petugas Ning masih dengan perlengkapan penyamaranku.

    "aduh, aku lupa memberitahunya. Di bawah sana pasti banyak petugas sedang berjaga dan juga Petugas Rena..dia 'kan agak gila, pfftt HAHAHAHAHA"

    Aku menuruni tangga menuju bawah tanah dengan berhati-hati. 

*DUK* 

    Aku terlalu fokus dengan ponsel yang kugenggam sampai aku menabrak salah satu petugas. Kulihat ia menggenggam benda tajam berlumuran cairan merah pekat. Seketika kepalaku pening, aku benci dan takut melihat darah. Semua gelap, badanku tidak bisa digerakkan. 

    "Hm? Dia sudah sadar."

    "Ini ponselmu?" tanya salah satu petugas. 

    "I..ya.." 

    "KYAKAKAKAKA, RASAKAN INI!" salah satu petugas hendak menusuk dadaku dengan pisau. Ah, itu dia yang tadi tak sengaja kutabrak. 

    "Hentikan, Rena, jangan gegabah." salah satu petugas mencegahnya. 

    "Beliau datang!" petugas lain masuk terburu-buru.

    "Halo, nona muda," sapa Bu Lia. Aku hanya bisa mengangguk kecil. 

    "Ini, Bu. Ponselnya." 

    "Hohoho, mari kita lihat isinya. Aku cukup penasaran." Bu Lia tersenyum lebar. 

    "video apa ini, Petugas Ari?" Bu Lia menunjukkan video bukti itu! Petugas Ari terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat. 

    "Bu, izinkan saya memberi hukuman hihihi," petugas Rena sudah siap dengan pisaunya. Bu Lia mengangguk senyum. Tak hanya petugas Rena yang memberi 'hukuman' beberapa petugas lain tampak kegirangan dengan benda tajam mereka masing-masing. Aku yang melihatnya pun ngeri. Petugas Ari dinyatakan tewas. 

    "Selanjutnya anak di video ini, Vivi? Benar, itu namanya. Menuju kamar 301!" Bu Lia dan semua petugas pergi meninggalkanku. Tunggu! Bukan begini maksudku, aku tak ingin Vivi juga terkena 'hukuman' yang sama dengan Petugas Ari. Dia hanya mengikuti apa yang dikatakan Petugas Ari persis seperti video itu. Aku memaksa membuka ikatan di kedua tangan dan kakiku. Berhasil. Aku segera berlari untuk menghentikan mereka. 

*Bruuuk*

    Suara itu berasal dari atas. Aku melihat batu kerikil berjatuhan. Kurasa tempat ini akan segera runtuh mengingat bangunan ini sudah tua. Gawatnya lagi aku masih berada di ruang bawah tanah. Seketika pandanganku gelap, sepertinya aku pingsan lagi. Tak lama, aku sadarkan diri. Seluruh bangunan sudah runtuh, dinding bangunan berjatuhan, Bebatuan besar maupun kecil menghantam semua manusia di poskesos ini. Uniknya, hanya aku yang selamat. Walaupun kakiku sedikit terkilir, ini saja sudah sangat bersyukur. 

    "Haloo" suaraku terdengar menggema. Aku berjalan di sepanjang runtuhan bebatuan. Tak sengaja, ku menginjak album foto berisikan dokumentasi para petugas yang sedang memberi 'hukuman' kepada orang-orang yang melanggar peraturan di Puskesos ini. Tertulis di bawah setiap foto "melanggar ketenangan jam makan siang", "melanggar penggunaan jadwal pribadi", dan lainnya. Salah satu foto itu, ada Bu Ija. Di halaman berikutnya, kutemui Bu Lia sedang berfoto dengan kotak bertuliskan "lambung", "jantung", dan berbagai organ lainnya. 

    "Rupanya ini tempat 'pasar' organ." 

    "Hei! Kau! Bantu aku mengangkat batu ini!!" Suara Bu Lia memancing perhatianku. Kuhampirinya, sebuah batu besar menahan perut buncit Bu Lia. Bukannya membantu mengangkat batu itu, aku menjatuhkan batu besar lain tepat di wajahnya. Puas. Kini aku sudah bebas dari poskesos gila ini. 


Nama: Najwa Alifia Kusuma

Absen: 20














Tidak ada komentar:

Posting Komentar