Empat puluh lima menit di udara hari itu telah mengubah pandangan seorang gadis asal kota lumpia. Soekarno Hatta – Ahmad Yani pekan lalu. Adegan yang menyentuh nuraninya berselancar kembali di kepala.
Jati nama gadis itu mulai tak nyaman sejak ia baru mencapai tempat duduknya. Penumpang di sebelah terus mengetuk-ngetukkan jari ke paha. Sesekali berkipas menggunakan tiket pesawat yang tergenggam di tangan kirinya. Jati sempat melirik ke tiket itu ketika menampatkan diri di kursi miliknya. Wamesa nama gadis berkulit hitam itu.
Di pesawat yang sejuk itu, keringat Wamesa bercucuran. Ia merapatkan dirinya ke jendela pesawat menjauhi Jati. Jati semakin canggung dan urung menyapa. Di antara dua gadis yang bersebelahan itu, ketegangan begitu terasa.
Ingin rasanya Jati mencairkan suasana beku ini. Tapi belum menemukan cara yang tepat. Khawatir menyinggung Wamesa. Namun akhirnya, dengan sangat terpaksa ia menoleh. Menganggukan kepalanya dengan senyuman. Wamesa menatap nyalang. Jangankan membalas anggukan, senyumpun tidak.
Jati melihat Wamesa menatap keluar. Ia tak mengerti kenapa arakan awan-awan lebih menarik gadis di sampingnya ketimbang berbincang.
“Kenapa?” gumamnya lirih diiringi hempasan nafas dari mulutnya.
Wamesa melirik dengan kikuk. Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya kembali dengan gerakan lebih cepat.
“Apanya?” tanya Wamesa terbata. “Apa,” lanjutnya. “Aku tak boleh di sini?” Suaranya bergetar.
Jati mengernyitkan dahi. Ia heran. Bagaimana bisa pertanyaan kenapa yang meluncur dari mulutnya akibat kebingungan menghadapi sikap penumpang Garuda ini dibalas dengan pertanyaan lagi. Siapa yang tidak mengizinkannya duduk di sini? Jati tak merasa mengatakan kalimat itu. Dia jadi serba salah.
Di tengah perasaan tak karuan yang menguasainya, seorang pramugari datang dengan snack dan minum. Ini akan menjadi pembuka obrolan dengan Wamesa. Hanya saja, rasa pekewuh benar-benar merasuki Jati. Ia membantu pramugrari menyodorkan kotak snack untuk Wamesa.
“Monggo,” ucapnya.
Wamesa tampak tak mau mengulurkan tangannya. Ia juga tak menatap Jati sama sekali. Akhirnya Jati hanya meletakkan kotak itu di depan tempat duduk Wamesa.
Tadinya ia berharap bertemu dengan teman perjalanan yang seru. Kenyataannya, Wamesa adalah penumpang penuh ketegangan. Wamesa sendiri kebalikannya. Ia berharap, pesawat ini miliknya. Sehingga tak seorangpun ada di pesawat itu kecuali dirinya. Bahkan jika mungkin ia yang akan menerbangkan pesawat itu langsung ke Papua.
Wamesa tak ingin bertemu orang-orang. Ia hanya ingin menyendiri. Tak terbayangkan kengerian demonstrasi mahasiswa Papua di Jakarta beberapa hari sebelumnya. Berujung anarkis. Wamesa hanya bisa diam sembunyi. Ikut demo tak berani. Beberapa hari izin tidak masuk sekolah. Perilakunya menunjukkan ketakutan. Ia berdiam diri di rumah tantenya di Jakarta.
“Wamesa, keadaan akan membaik. Kita aman kok. Teman-teman sayang kamu. Kamu nggak akan dibuli,” ucap tantenya suatu hari.
Wamesa hanya menggeleng. Ia memantau layar televisi. Berita hangat tentang mahasiswa Papua di Surabaya yang tak mendapat perlakuan adil membuatnya tak percaya diri untuk keluar rumah.
Khawatir Wamesa merasa tertekan, orang tua mereka menyuruh Wamesa pulang. Ia harus menemui kakaknya terlebih dahulu di Semarang. Rencananya dari sana ia akan kembali bersama.
Pesawat terbang gagah di cakrawala. Menembus awan-awan. Para penumpang asyik dengan diri mereka sendiri. Ada yang tertidur, ada yang mendengarkan musik melalui earphone, ada yang membaca. Semua diam. Mungkin hanya perasaan kedua penumpang kecil ini yang berkecamuk.
Pramugrari dengan suara lembut nan tegas mengatakan tujuh belas menit lagi pesawat mendarat. Ah, akhirnya Jati mengumpulkan keberanian untuk menyapa teman seperjalanannya.
“Maaf, apa kamu takut ketinggian?” Jati mengulurkan tangannya menyentuh tangan Wamesa.
Dengan gerakan gesit, Wamesa menarik tangan dan mendekapkan ke dadanya. Ia menggeleng kuat.
Jati terperangah melihat reaksi Wamesa. Yang membuatnya lebih bingung, Wamesa menitikkan air mata. Jati menengok ke kanan kiri bermaksud mencari bantuan. Ia sendiri tak bisa mengatasi, tampaknya semua orang sibuk. Ia sungguh tak mengerti. Jati jadi bertanya-tanya apakah dia melakukan sesuatu yang melukai gadis di sampingnya?
“Aku hanya ingin ngobrol.”
Wamesa bergeming dalam nafas yang tak teratur. Jati melanjutkan bicara.
“Kita punya tujuan yang sama, bukan? Beku sekali kalau saling diam dengan teman perjalanan.”
Wamesa melirik Jati. “Teman?” desisnya nyaris tak terdengar. Namun Jati sempat menangkapnya.
“Iya, teman.”
Tampak keraguan dalam sikap Wamesa. Ia beringsut membenarkan duduknya. Yang tadinya merosot, hampir meringkuk, kini agak tegak. Ia kembali mengetuk-ngetukkan jemarinya di pegangan tempat duduk.
“Teman tidak menghina temannya,” ujarnya penuh tekanan. Hidungnya kembang kempis.
“Apa?!” Jati semakin terkejut dengan pilihan kata Wamesa sejak tadi. “Siapa yang menghinamu?” lama-lama Jati geram.
Di awal, Wamesa sudah mengatakan hal yang tak dimengerti. Memangnya siapa yang tak mengizinkan ia duduk di sebelah Jati. Pilot tak melarang. Pramugrari melayaninya dengan baik. Kalaupun tak diizinkan, tentu sejak pengecekan tiket dan pemeriksaan penumpang di Bandara, dia aman dan lolos.
Pesawat ini juga tak menolaknya apalagi melemparkan Wamesa keluar jendela. Pesawat menerima semua kebangsaan, tak peduli warna kulit, tak melihat bahasa, suku, adat, budaya, dan kebiasaan orang-orang di dalamnya. Juga membawa semua penumpang yang beraneka ragam ke tujuan yang sama. Bahkan sekalipun mereka sedang gembira, sedih, canggung, takut, atau khawatir. Diraupnya semua beban.
Dengan perasaan dan pikiran tak menentu, Jati mencoba menjelaskan. “Kamu Wamesa kan?”
Wamesa menautkan alis. “Bagaimana Kakak tahu?”
“Maaf, tadi aku ngintip di tiketmu yang tampaknya sudah mulai lecek karena kamu pegangi sejak tadi.”
Wamesa baru menyadari. Tiketnya basah oleh keringat yang keluar dari tangannya.
Jati melanjutkan. “Tadinya aku pikir kamu fobia ketinggian. Tapi sepertinya kamu malah mencurigaiku. Perlu kamu tahu, aku tak membencimu atau menghinamu.”
“Tapi,” potong Wamesa. Ia sudah mulai buka suara. “Orang-orang Jawa menghina kaumku.”
“Jangan bawa-bawa suku!” tandas Jati.
“Kenyataannya memang begitu. Kami tersingkir, tak dihargai, dianggap monyet.”
Jati ingat, beberapa hari lalu pernah menyaksikan berita itu di televisi. Ia baru menyadari bahwa sebenarnya Wamesa fobia dengan dirinya. Dengan saudara sebangsanya sendiri yang berkulit sawo matang.
“Bukan sukunya yang harus disalahkan, Wamesa. Perlakuan mereka mungkin karena masalah pribadi. Aku sendiri tak mempermasalahkan keberadaanmu. Aku mau mengajakmu berbagi cerita di udara. Dan melanjutkan pertemanan ketika telah berpisah nanti.”
Ketegangan Wamesa sedikit berkurang. Namun ia waspada.
Delapan menit lagi pesawat melakukan pendaratan. Perjalanan segera berakhir. Kedua Penumpang ini akan berpisah. Saat beranjak dari duduknya, Wamesa mengulurkan tangan.
“Siapa namamu?”
“Jati,” jawab Jati dengan sedikit kaget.
“Kamu teman sejati.”
Oleh : Cilya Hassya Areta XI MIPA 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar