HEART ATTACK

    Ketika matahari hampir mencapai puncaknya, tepat pada pukul setengah 11 siang. Bel sekolah berbunyi. Semua murid langsung merapikan tasnya dan bergegas keluar kelas. Seketika suasana menjadi sangat ramai. Halaman sekolah sudah dipenuhi dengan kendaraan bermotor, banyak mobil mengantri berurutan sampai keluar dari gerbang. Seakan tidak ada celah bagi seseorang untuk berjalan di tengah-tengah kepadatan tersebut. 

    Shally dan teman-temannya keluar dari kelas sambil bersenda gurau. Ternyata, di antara mereka sudah dinantikan oleh orang tuanya,

     “Chesa, itu ibumu bukan sih?” tanya Shally. 

    “Oiya, itu ibuku, aku pulang dulu ya.” Pamit Chesa. 

    Tiga puluh menit berlalu, rasanya suasana di sekolah makin sepi saja, hanya tersisa beberapa anak yang masih setia menunggu untuk dijemput oleh orang tuanya, termasuk Shally. Di saat seperti inilah para siswa merasa cemas, mereka tidak mau menjadi satu-satunya murid yang masih bertahan di lobby sambil menatap kosong halaman, menunggu sebuah anugrah datang. Ya, dijemput tepat waktu merupakan suatu anugrah bagi mereka. Tak lama kemudian, terlihat mobil Alphard putih datang dari gerbang menuju ke lobby.

     “Akhirnya datang juga, bisa-bisa aku lumutan jika terus berada di sini.” gumam Shally.

    Shally langsung mengambil tasnya, tak sabar untuk pulang ke rumah. Di dalam sudah ada ayahnya yang duduk di kursi kemudi sambil memegang setir, sedangkan mamahnya berada di samping kanan dengan handphone di tangannya. 

Di tengah perjalanan, “Shally, kita ke rumah sakit dulu ya,” ucap mamah Shally dengan ekspresinya yang tegang. 

Shally langsung menengok ke arah mamahnya, wajahnya tertunduk, ia terlihat seperti menahan air mata yang sudah terlanjur membanjiri mata indahnya,

 “Siapa yang masuk rumah sakit, Mah?” tanya Shally pelan, 

“Nenek, gula darahnya naik, sampai-sampai..” kalimat itu terputus, perasaan Shally semakin tidak enak, “Nenek terkena serangan jantung.” 

    Seketika dunianya runtuh. Badannya lemas, air mata mulai mengalir di pipi Shally, ia sangat terkejut sekaligus terpukul mendengar kabar tersebut, Shally takut kehilangan neneknya, nenek yang sangat ia sayangi. Shally tidak menjawab perkataan mamahnya, ia sudah terlanjur panik, pikirannya sudah tidak bisa dikontrol lagi. Shally takut neneknya tidak bisa diselamatkan. 

    Sepanjang perjalanan, ia hanya duduk terdiam di samping jendela mobilnya sambil mentatap kosong kendaraan yang berlalu lalang. Air matanya terus mengalir, hatinya tidak tenang. Ia hanya bisa berdoa untuk kesehatan nenek. 

    Sesampainya di rumah sakit, Shally langsung membuka pintu mobilnya, perasaannya campur aduk, matanya pun sembab. Kemudian Shally dan orang tuanya berjalan menuju IGD. Terlihat nenek sudah terbaring lemas dengan infus dan alat bantu pernapasan, di sampingnya juga terdapat alat patient monitor, alat yang digunakan untuk memonitor detak jantung, nadi, tekanan darah, dan respirasi. Di sana juga sudah ada beberapa keluarganya yaitu bude, om, dan pakdenya. Kemudian Shally berjalan mendekati mereka. Ketika Shally tepat berada di samping nenek, air mata langsung mengalir dengan sangat deras. Ia tak sanggup melihat neneknya dalam kondisi seperti ini, Shally langsung mundur tepat di belakang punggung mamahnya. 

    Bude yang melihat Shally menangis, lalu memberikan tisu untuknya, sembari berkata “Udah jangan nangis, Nenek ngga kenapa-napa, Nenek pasti bisa cepat sembuh,” 

    “Iya, Bude.” Balas Shally sambil menerima tisu tersebut dan mengusap air matanya. 

    Ia berusaha tegar dan tetap berpikir positif. Di dalam hati, Shally juga berdoa agar neneknya bisa diberikan kesehatan. 

    Dan ketika Shally menengok ke arah kanan. Terdapat sosok bapak-bapak yang juga terbaring lemas di ranjang pasien, matanya terpejam. Shally melihat bapak tersebut menggunakan alat yang hampir mirip dengan nenek, tetapi ada beberapa alat tambahan terpasang di tubuh sang bapak. Sepertinya pasien tersebut kondisinya lebih parah dibandingkan nenek. Ia juga dipantau ketat oleh dokter dan perawat. Tiba-tiba, pasien tersebut mendengkur dan diiringi suara alat yang berbunyi. Perawat dengan sigap langsung mengambil tindakan. 

    Anak dan istri pasien tersebut langsung mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah,” dengan berlinang air mata. 

    Suasananya menjadi sangat tegang. Shally yang melihat kejadian tersebut seketika bulu kuduknya berdiri dan saat itu juga perawat menutup tirai yang berada di tengah-tengah antara nenek dan pasien. Shally tidak tau persis apa yang dilakukan para tenaga medis, tetapi sekilas Shally lihat mereka seperti menggunakan alat pacu jantung yang kemudian ditempelkan di dada sang pasien. Anak dan istrinya terus mengucapkan kalimat tahlil, suaranya gemetar diiringi isakan tangis. 

Shally yang penasaran, lalu ia bertanya kepada mamahnya, “Mah, itu Bapaknya kenapa?” 

Mamahnya malah menyuruh Shally agar jangan mengintip dan tetap diam di tempat saja. 

Sampai selang beberapa menit kemudian, alat tersebut sudah tidak berbunyi lagi, para tenaga medis pun pergi meninggalakan pasien tersebut. Ini merupakan pengalaman pertama kalinya Shally melihat orang dalam keadaan kritis. 

    Setelah kejadian tersebut, nenek dibawa menuju ruang ICCU. Ruangan tersebut tepat berada di lantai 3. Hanya budhe, Shally, mamahnya beserta beberapa perawat yang ikut membawa nenek menuju ruang ICCU. Untuk menuju ke sana mereka harus menggunakan lift. Jujur, sebenarnya Shally agak takut menggunkan lift yang ada di rumah sakit ini. Ia merasa lift tersebut sedikit menyeramkan, dengan aroma khas rumah sakit yang melekat, terlebih suasana kala itu lumayan sepi. Tetapi Shally hanya diam saja, ia memendam perasaan tersebut sendiri. Sesampainya di lantai 3, lift-pun otomatis terbuka. Mereka langsung bergegas menuju ruang ICCU, jaraknya tidak terlalu jauh. 

Ketika mereka sudah berada di depan ruang ICCU, tiba-tiba salah satu perawat berkata, “Maaf, hanya perawat saja yang diizinkan masuk,” 

“Oh, begitu ya, Sus,” jawab budhe Shally, 

“Iya, nanti kalau semua peralatan sudah terpasang dengan baik, kerabat dari pasien baru diperbolehkan untuk menjenguk.” Kata perawat tersebut. 

    Mereka memang tidak diizinkan untuk masuk, tetapi mereka masih bisa melihat nenek melalui jendela. Para perawat yang berjaga di ruangan tersebut langsung mengambil tindakan. Nenek dipindahkan ke ranjang yang berbeda, kemudian dipasangkan alat-alat yang sesungguhnya Shally tidak tau apa tujuan dan nama dari alat tersebut.

    Om, pak dhe, dan ayah Shally tiba di lantai 3 dengan membawa barang-barang milik om Shally untuk menginap di rumah sakit. Merekapun membereskan perlengkapan yang sudah dibawa. Setelah itu, Shally dan mamahnya kembali menuju ruang ICCU untuk memastikan apakah nenek sudah boleh dijenguk atau belum. Ternyata semua alat sudah terpasang dan bajunya pun sudah diganti dengan baju pasien.

     “Maaf, nanti tolong disampaikan kepada kerabat yang lain, jika ingin menjenguk maksimal satu atau dua orang saja, dan tidak boleh berisik,” perintah sang perawat yang berjaga di ruang ICCU, “karena dapat mengganggu pasien,” tambahnya, 

    “Oke, Sus, nanti akan saya sampaikan.” Jawab mamah Shally. 

    Kemudian Shally dan mamahnya berjalan menuju ke arah nenek. Terlihat banyak sekali alat yang terpasang, badannya lemas, matanya pun sayu. Alhamdulillahnya nenek masih sadar. Mereka hanya menjenguk nenek sebentar saja karena dikhawatirkan nenek jadi kurang istirahat. 

    Singkat cerita, Shally, mamah, dan ayahnya berpamitan untuk pulang karena masih ada hal lain yang harus diselesaikan. Di perjalanan, Shally teringat kembali dengan pasien yang tadi berada di samping nenek. 

    “Kira-kira, kondisi bapaknya sekarang gimana ya?” tanya Shally dalam hati. 

Ia jadi takut neneknya mengalami hal serupa seperti bapak tersebut. 

    “Semoga nenek bisa cepat sembuh dan bapak itu bisa diberikan kesehatan.” Gumam Shally sambil melihat ke arah jalan. 

    Hari demi hari terus berlalu, setiap hari Shally dan orang tuanya pergi ke rumah sakit. Ia juga selalu berdoa agar neneknya bisa diberikan kesehatan dan bisa cepat pulang. Sampai suatu hari, ia mendengar kabar bahwa pasien yang Shally temui di IGD dengan kondisinya yang bisa dibilang mengkhawatirkan, meninggal dunia. Ya, bapak yang pada waktu itu berada di samping nenek saat di IGD. Perasaan cemas mulai menyelimuti benak Shally. Ia jadi khawatir dengan kondisi neneknya. Apalagi, Shally mendengar kabar tersebut saat nenek masih berada di ruang ICCU. Tatapi hal itulah yang membuat Shally semakin memperbanyak doanya kepada Allah.

     “Ya Allah, semoga nenek bisa diberikan kesahatan dan bisa diberikan umur yang panjang.” Pintanya kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. 

Sama seperti hari-hari biasanya, sepulang sekolah ia langsung menuju ke rumah sakit. Tetapi kali ini ia melewati jalan yang berbeda. 

“Yah, kok kita lewat sini?” tanya Shally. 

“Iya, soalnya nenek sudah dipindahkan ke ruang rawat inap,” jawab ayanya. 

Shally sangat senang mendengar kabar tersebut, perasaannya mulai lega, wajahnya pun berseri, terlihat sudut mulutnya terangkat. 

“Alhamdulillah, Ya Allah,” ucapnya dalam hati. 

    Di sana, kondisi neneknya semakin hari semakin membaik. Kemudian, dokter yang selalu mengecek kesehatan nenek juga memberikan kabar yang membahagiakan, yaitu nenek sudah diperberbolehkan untuk pulang. Jadi, kurang lebih hanya tiga hari saja nenek berada di ruang rawat inap. Sebelum pulang, nenek diberikan obat yang cukup banyak untuk dikonsumsi setiap harinya.

 

Azzahra Nabila XI MIPA 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar