Ketika Hujan Berhenti

    

    Hujan deras kala itu membuat banyak orang mengunjungi kedaiku –milik ibuku tepatnya, entah mereka benar-benar sedang merasa lapar atau hanya singgah untuk berteduh sebentar yang jelas sekarang aku sibuk sekali dengan mangkuk-mangkuk sup yang harus kuisi satu persatu lalu kuantar kepada mereka. Tak lama kemudian seorang pemuda menghampiriku dengan jaketnya yang telah basah kuyup diguyur hujan. 


    “Kau terlihat menyedihkan,” laki-laki itu tertawa dan duduk di depan kasir, dihadapanku maksudnya.


    “Apa yang kau punya hari ini, Nona Kedai?”


    “Tidak ada untukmu, kau tidak lihat seramai apa kedai ini?” kataku sambil sibuk menyiapkan sup hangat untuk para pelanggan. Kedai ibuku memang terkenal dengan sup kepiting jagungnya yang lezat.


    “Ayolah,” ia merengek seperti balita yang meminta dibelikan mainan oleh ibunya. 


    “Aku bercanda, ibu bisa-bisa memarahiku jika tidak memberi makan ‘anak’ kesayangannya, kau bahkan bukan anak kandungnya tapi ibu begitu menyayangimu,” cibirku.


    “Bukankah itu karena aku selalu membuat ibumu senang dengan apa yang selalu kubawa setiap hari untukmu dan ibumu?” 


    “Sombongnya.. Jadi apa yang kau bawa hari ini, Mr. Hunter?”


    “Tidak ada, lihatlah betapa derasnya hujan diluar itu, semua buruanku pergi berlari setelah mereka mendengar suara petir menyambar,” jelasnya dengan wajah murung. Wajah murungnya itu benar-benar hanya terlihat jika ia tidak mendapatkan hewan buruannya, ambisinya sangat besar dalam keahliannya bermain busur dan panah yang selalu ada dalam genggamannya itu.


    Little did she know, Mr. Hunter juga sangat sensitif terhadap apapun yang terjadi padamu, Nona Kedai.


    “Oh tuhan, Ryle kenapa kau basah kuyup begitu? Cepat masuklah dan ganti pakaianmu,” suara melengking ibuku terdengar begitu ia keluar dari dalam rumah dengan satu wadah besar berisi sup kepiting. Ryle, atau yang kusebut Mr. Hunter itu tersenyum lebar melihat ibuku.


    “Halo, Bibi An, apa kabar bibi?” anak ini memang jagonya bersikap manis.


    “Tentu saja baik, cepat ganti bajumu Ryle, kalau tidak kau akan sakit,” ibuku berkata jengah.


    “Baik, Yang Mulia Ratu,” Ryle berdiri dan membungkukkan tubuhnya seakan benar-benar sedang menghadap Ratu Britania Raya. Setelah itu ia pergi masuk untuk berganti pakaian. 


    Oke, kalian pasti penasaran siapa Ryle ini dan mengapa dia bisa tinggal bersamaku dan ibuku. Mari kuceritakan, Ryle adalah teman baikku sejak kecil, rumahnya tepat di seberang. Ia berasal dari keluarga yang harmonis, ibuku dan ibunya berteman baik. Namun keberuntungan tidak berada dalam genggaman Ryle kecil yang berusia 10 tahun, orangtuanya mengalami kecelakaan dan nyawa mereka tidak tertolong. Entah berapa hari aku harus menemani Ryle yang tak berhenti menangis karena kejadian itu. Sejak saat itu ibuku mulai merawatnya seperti anak kandungnya sendiri. Jadi sebenarnya Ryle tidak tinggal di rumahku, tapi laki-laki itu selalu menitipkan pakaiannya padaku untuk disetrikakan, ia tidak bisa menyetrika. Itulah mengapa ada banyak pakaiannya yang menumpuk di tempat laundry rumahku. Bagi kalian yang bertanya-tanya tentang ayahku, ia telah tiada bahkan sebelum aku lahir, aku bahkan tidak tahu seperti apa wajahnya. 


    “Lily, apa kau sudah mengangkat pakaian yang kau jemur tadi pagi?” tanya ibuku.


    “Astaga, aku lupa,” ibuku menggelengkan kepalanya.


    “Cepat antarkan mangkuk itu dan angkatlah jemurannya,” 


    Setelah kuantar semua mangkuk-mangkuk itu kepada pelanggan, aku bersegera masuk ke dalam rumah untuk mengangkat jemuran. Tanpa kuduga, Ryle dengan kepekaannya sedang mengangkat satu persatu pakaian di halaman belakang. Aku segera mengambil payung dan menghampirinya. Aku membantunya mengambil pakaian dari jemuran. 


    “Kenapa kau tidak mengambil payung?”


    “Kau tahu, tubuhku bergerak lebih cepat daripada otakku, aku bahkan tidak sempat memikirkan payung,” 


    Kami kembali masuk ke dalam setelah mengangkat semua pakaiannya. Melihat semua pakaian basah itu aku menghela nafas panjang, aku harus kembali menjemur mereka besok pagi. Aku berjalan ke lemari dan mengambilkan handuk untuk Ryle yang basah kuyup untuk kedua kalinya.


    “Keringkan badanmu,” aku melemparkan handuk itu padanya, “aku akan menghangatkan air untukmu, tunggu sebentar,” aku kembali dengan satu ember air hangat, kuletakkan ember itu di depan kamar mandi.


    “Mandilah sebelum kau sakit,” kataku pada Ryle. Ia segera berlari ke kamar mandi. Aku yakin tubuhnya sudah setengah membeku.


    Ryle keluar dari kamar mandi setelah beberapa saat. ‘Buk’ ia melemparkan handuknya kepadaku yang sedang duduk sambil merajut di sofa, bola mataku reflek berputar. Melempar handuk adalah isyaratnya untukku membantu mengeringkan rambutnya yang masih basah. Dalam hitungan detik ia sudah duduk di lantai tepat di depanku. Aku meletakkan rajutan setengah jadi ku dan menukarnya dengan handuk itu, tanganku bergerak mengusap-usap rambutnya hingga kering.


    “Sup ini untukku?” tanya Ryle begitu ia melihat semangkuk sup di meja yang ada di depannya.


    “Enak saja, itu punyaku!” 


    “Kau tidak akan membaginya padaku?”


    No, no, ambillah sendiri di dapur, berhenti menjadi manja,” tak lama kemudian ibu datang menghampiriku dan Ryle yang sedang menikmati sup sembari berbincang ringan.


    “Ibuuu, apa kedainya sudah ditutup? Cepat sekali,” tanyaku.


    “Supnya sudah habis dan ibu sudah lelah untuk membuat lagi, jadi ibu tutup saja,”


    “Duduklah, Bu, biar aku pijat punggung ibu,” ibu duduk di sebelahku dan aku mulai memijat punggungnya.


    “Apa bibi mau sup? Biar kuambilkan di dapur, Bi,” kali ini Ryle berdiri dan mangambilkan semangkuk sup untuk ibu. Ryle kembali dan ibu mulai menikmati sup itu.


    “Terimakasih anak-anakku, kalian memang kesayangan ibu,” sore itu diakhiri dengan perbincangan hangat dan senyuman kami bertiga di tengah dinginnya hujan dan hangatnya perapian rumahku.


    Malam harinya aku dan Ryle memutuskan untuk mengobrol di balkon, kami tidak ingin mengganggu ibu yang sudah tertidur sejak tadi. 


    “Apa kau akan pulang setelah hujan reda?” tanyaku pada Ryle.


    “Aku bahkan bisa berlari sekarang juga, rumahku hanya beberapa langkah dari sini kalau kau lupa,” 


    “Kenapa kau tidak pulang?”


    “Kau mau aku pulang?”


    “Tidak, jangan pergi dulu,” Ryle tersenyum padaku. 


    “Cepat katakan apa yang mau kau ceritakan, aku tidak akan pergi sampai kau memaksa keluar apa yang memenuhi otakmu sejak tadi,”


    “Kau menyadarinya?” Ia mengangguk. “Aku hanya khawatir pada ibu, aku takut dia kelelahan setiap hari harus melayani kedai, aku ingin mempekerjakan beberapa pegawai agar ibu tidak bekerja terlalu keras, tapi entahlah aku tidak yakin apa aku bisa,”


    “Aku bisa,” aku menoleh padanya, “aku bisa menjadi pegawaimu,” aku tertawa.


    “Kau? Mengantarkan sup? Kau yakin mangkuk-mangkuk itu tidak akan pecah ditanganmu?”


    “Aku bisa belajar,”


    “Kau siap menukar busur dan panah mu dengan nampan dan mangkuk?” Ia menggeleng keras. Aku lagi-lagi tertawa. Hening beberapa lama dan aku kembali menunduk.


    “Hei, jangan sedih, ibumu akan baik-baik saja, dia adalah wanita terkuat yang pernah kukenal,”


    “Aku tahu,” 


    “Kemari,” ia merentangkan tangannya menawarkan dadanya untukku bersandar. Aku tersenyum dan segera menyambut pelukannya. Ryle mulai mengusap-usap punggungku, entahlah mungkin karena ia merasakan bajunya yang sudah basah oleh air mataku.



    Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kehidupanku berjalan seperti biasanya, bangun pagi, mandi, pergi ke pasar, kembali ke rumah, membantu menyiapkan kedai, melayani pelanggan, bertemu Ryle dengan rusa buruannya, menutup kedai, memasak makan malam, mengobrol dengan Ryle, lalu tidur. Yang tidak berjalan seperti biasanya adalah kondisi kesehatan ibu, ia yang kian menua dan lemah. Aku sudah melarang ibu untuk mengurusi kedai tapi ia bersikeras membantu. 


    Aku menutup kedaiku sore itu, seperti biasa aku menyiapkan makan malam dan Ryle sedang memijat ibu di ruang tengah. 


    “Ryle, apa yang akan kau lakukan saat hujan reda?” 


    “Aku tidak memiliki rencana apapun hari ini Bi mungkin bertemu dengan Mr. Carl sebentar, busurku perlu sedikit perbaikan,”


    “Apa ibu ingin pergi ke suatu tempat setelah hujan berhenti? Biar aku dan Lily antarkan,” ibu mengangguk.


    “Ibu senang pergi kemanapun dengan kalian berdua,” aku tersenyum hangat mendengarnya. Nyatanya malam itu hujan tidak kunjung reda, rencana kami untuk berjalan-jalan berakhir hanya wacana.


    Esok paginya aku dan Ryle mengajak ibu berjalan-jalan sebagai pengganti semalam. Pagi itu sangat cerah dan udaranya begitu segar setelah diguyur hujan semalaman. Kami mengajak ibu ke kebun milik teman Ryle, ada banyak buah-buahan yang tumbuh baik disana. Kami memetik beberapa buah dan memakannya di sana. Tenang, Ryle sudah meminta izin pada pemilik kebun itu. Ia bilang ia akan menukar buah-buah itu dengan seekor rusa atau kalkun. 


    Aku sangat senang melihat senyuman ibu hari itu, yang aku tidak tahu adalah, hari itu akan menjadi hari bahagia terakhir ibu.


    Malamnya ibu demam tinggi dan aku mengompresnya semalaman. Aku meminta Ryle untuk membelikan obat. Aku tidak tidur malam itu, aku menangis di samping ranjang ibu dengan Ryle yang tidak lelahnya menemaniku. Pagi harinya ku kembali memeriksa keadaan ibu yang tak kunjung membaik. Aku membuatkannya sarapan dan menyuapinya hingga habis. Setelah itu aku kembali menemaninya, menggenggam tangannya.


    “Erat sekali genggamanmu,”


    “Aku mengkhawatirkan ibu,”


    “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan anakku, ibu akan selalu bersamamu sampai kapanpun, kau tahu itu kan?” aku mengangguk dan kembali meneteskan air mataku. 


    “Jangan menangis, kau tidak malu dengan Ryle?”


    “Tidak, aku selalu menangis dihadapannya,” 


    “Benarkah Ryle?” ibu mengalihkan pandangannya kepada Ryle yang sedari tadi duduk di ujung ruangan kecil itu. Ryle hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.


    “Baguslah kalau begitu. Ryle tolong jaga Lily ya, jangan sampai anak kesayangan ibu terluka,”


    “Siap laksanakan!” ibu tersenyum.



    Dua hari kemudian, aku merasakan genggaman ibu yang melonggar. Ibu tidak lagi menggenggamku. Hujan malam tadi telah berhenti diikuti kepergian ibuku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku yakin Ryle bahkan mendengar tangisanku dari rumahnya karena beberapa detik kemudian ia membuka pintu rumahku dan berusaha menenangkanku.


    Setelah pemakaman hari itu, aku pulang bersama Ryle. 


    “Bagaimana dulu kau bisa menghadapi hal ini, Ryle?” tanyaku.


    “Tanyakan itu pada dirimu sendiri, bagaimana dulu kau bisa membuatku bertahan Lily?” ia menatapku yang masih sesegukan, 


    “Katakan padaku bagaimana aku bisa membuatmu bertahan? Katakan padaku bagaimana kau bisa membuatku melupakan kesedihan terbesar dalam hidupku? Katakan padaku bagaimana aku harus membalasmu? Katakan padaku bagaimana aku harus mencintaimu?” –Ryle.





Oleh: Nabila Belva Dewi / XI MIPA 6


Tidak ada komentar:

Posting Komentar