Pagi hari Dira kelaparan, seperti biasa sebelum berangkat sekolah Dira akan menuju ke sebuah warung hijau yang sudah pasti banyak orang.
“Akhirnya sampai juga di warung rames Bu Poer” Ucap Dira sembari duduk di tempat duduk warung.
“Nasi rames seperti biasa, Bu Poer,” katanya lalu menyerahkan sejumlah uang pada wanita yang tengah menyiapkan makanan.
“Tunggu ya Ra,” wanita yang akrab dipanggil Bu poer itu segera mengambil nasi beserta lauknya. Diulurkannya nasi rames itu pada Dira.
“Bonus telur goreng buatan Pak Poer ra,” ucap Bu poer.
Mata Dira berbinar. Gadis itu langsung menyuapkan sesendok nasi rames yang sangat menggiurkan itu.
“Alhamdulillah, kenyang…” gumam Dira sambil mengusap-usap perutnya.
Dira melirik jam dinding yang ada di warung itu. Pukul 6.40! ia harus segera berangkat menuju sekolah kalua tidak akan terlambat.
“Dira berangkat dulu, Bu!” pamit Dira, dia berlari untuk menuju sekolah.
Saat pelajaran, tak sengaja Dira mendengar bunyi dari perut Adel, teman sebangkunya. Sahabatnya itu terlihat gelisah dan berulang kali melirik jam dinding di depan kelas. Adel sudah tak fokus menyerap pelajaran yang Ustadzah sampaikan. Dia pasti tak sabar menunggu waktu istirahat.
“Lapar, Del?” bisik Dira diikuti anggukan Adel. “Sebentar lagi istirahat, kok,” hibur Dira sambil melihat jam dinding yang ada di depan kelas.
Adel menghela napas lega ketika waktu sudah menunjukkan waktu istirahat. Lalu mereka segera pergi ke kantin untuk makan di kantin.
“Akhirnya bisa makan jugaa…” ucap Adel sambil menyendok kuah bakso.
“Tadi pagi tidak sarapan, yaa…” kata Dira mengingat Adel sering memasuki sekolah tanpa makan.
“Kamu tahu kan Bu Tarman sedang tidak enak badan jadi tidak ada lagi yang mengantarkan ku sarapan, sementara di kompleks kos ku tak ada warung,” Adel mengambil jeda, menyeruput kuah baksonya, “kamu beruntung bisa makan di warung Bu Poer walau kamu seorang anak kos an,” lanjutnya.
“Ah, biasa saja. Lagipula sangat melelahkan untuk mampir ke warung Bu Poer”
“Jangan begitu, Ra. Bu poer kan sudah setiap pagi menyiapkan sarapanmu,” tegur Adel , mengingatkan.
“Jika tidak adaBu Poer, kau akan kelaparan sepertiku saat ini,”kata Adel lagi.
Dira bungkam. Kenapa Adel mempermasalahkan masalah sepele seperti ini? Bukankah memang sudah pekerjaan Bu Poer untuk selalu menyiapkan makanan di warungnya?
Melihat Dira yang cemberut, Adel buru-buru mengganti topik pembicaraan, berusaha mencairkan suasana.
Pagi ini, Dira berangkat ke warung Bu Poer dengan malas. langkahnya terseok-seok menuju warung itu. Gadis itu menggerutu sepanjang jalan. Waktunya tersita hanya untuk sekedar sarapan di sana. Meskipun sebenarnya ia sangat kelaparan
“Lagipula tidak ada warung Bu Poer juga aku tidak apa-apa, kok,” katanya seraya menendang kerikil. Seperti biasa, Dira menghela napas karena kelelahan di depan warung bernuansa hijau itu.
“Lho, tidak biasanya pintunya ditutup,” gumam Dira seraya melongkok ke balik jendela. Aroma masakan terutama ayam goreng yang lezat tak tercium
Dira heran. Tidak mungkin Bu Poer bangun kesiangan sampai lupa membuka warungnya. Bahkan pagi-pagi sekali, berbagai hidangan terpampang di etalase.
“Bu Poerr …” panggil Tara.
“Bu Poerr …” tiga kali gadis itu memanggil, namun hasilnya nihil. Bahkan perutnya sudah bernyanyi dari tadi. “Mungkin warung Bu Poer tutup hari ini. Aku lapar sekali.”
“Bu Poer sakit. Dia tak bisa menunggu warungnya saat ini,” kata seseorang yang melintas di hadapan Dira.
Gadis itu kembali berjalan gontai menuju sekolah. Perutnya yang keroncongan membuat jalannya terombang-ambing. Ah, andai Bu Poer membuka warungnya, pasti aku tidak kelaparan, pikir Dira.
Gadis itu tiba di sekolah menjelang bel masuk. Dia sangat lemas. Sampai pelajaran dimulai, otaknya tak mampu fokus karena lapar. Mungkin inilah yang Adel rasakan jika tidak sarapan.
“Kamu baik-baik saja, Ra?” Adel bertanya.
“Iya…” jawab Dira lemah. Ia masih sangat pusing.
“Tadi pagi tidak sarapan, yaa…” goda Adel menirukan ucapan Dira tempo hari.
Dira tersipu, “warung Bu Poer tutup, beliau sakit,” Dira menundukkan kepalanya. Adel tersenyum seraya mengulurkan makanan yang ustadzah berikan tadi. Wajah Dira jadi sumringah.
“Nah, sudah tau kan bagaimana rasanya tanpa Bu Poer? Tanpa sarapan?” Adel kembali menggoda Dira.
Dita tak menjawab. Benar kata Adel. Bu Poer selalu menyiapkan makanan untuknya, bahkan tak segan memberi makanan tambahan. Tidak ada Bu Poer, artinya tak ada sarapan. Kenapa ia selalu mengeluh untuk ke warung Bu Poer demi kebaikannya sendiri?
“Seharusnya aku tidak menyepelekan hal seperti ini. Bu Poer adalah penyelamatku di pagi hari. Beginilah jadinya tidak ada beliau,” gumam Dira. Gadis itu memandang makanan di hadapannya. Wajah ramah Bu Poer tergambar jelas dalam benaknya.
Dira menyesal. Telah ia remehkan sosok yang berjasa itu. Wanita itu selalu bangun pagi untuk mencari nafkah dengan semangat, sementara Dira? Ia hanya bisa mengeluh untuk sarapan.
Sesendok nasi dia telan. Laparnya sirna. Namun tubuhnya masih lemas. Dira menitikkan airmata. Padahal dia sudah di beri kemudahan dengan adanya warung Bu Poer. Coba bayangkan, kompleks Adel tidak ada penjual makanan. Dia sering lapar setiap pagi. Dan masih banyak anak yang kering kerontang tak mendapatkan sesuap nasi pun di luar sana. Tara lebih beruntung daripada merek andai Tara bersyukur dan tidak mengeluhkan keadaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar