Sambut dan Terima

     “Sya, kita lama tak bersua, ya?”

     “Iya kak, kakak sepertinya hampir lupa adik kandung sendiri.”

     Hanya senyum getir yang tertahan, Nasya mulai bisa membaca keadaan.

     “Kakak, kenapa tiba-tiba datang kemari? Ibu tak ikut serta?”

     Elang tak kuasa menahan netranya agar enggan memperlihatkan keadaan hatinya. Tapi sulit, Nasya jelas bisa membaca semuanya dari awal.

     Nasya mematung, pandangannya kosong, selendang tari yang digenggamnya jatuh. Namun tidak dengan air matanya.

***

     Minggu!!!

     Nasya menunggu-nunggu hari ini sejak satu bulan yang lalu. Akhirnya siapa yang menjadi juara bertahan lomba tari kreasi tingkat kabupaten pun akan diumumkan hari ini. Nasya tersenyum, mengingat ia dan kawan-kawannya dulu berebut mengangkat tropi itu sembari memamerkan deretan gigi rapi dan bersih mereka di depan kamera. Tersenyum bahagia, lega, dan merasa perjuangan mereka terbayarkan.

    Nasya sampai di gerbang kantor bupati. Berlari-lari kecil, tak peduli seberapa basah bajunya karena mengenai genangan air bekas tangisan langit semalaman. Hanya satu yang ia tuju. Papan pengumuman!

     Dia menerobos kerumunan, menyibak para peserta lain yang rupanya ikut was-was menantikan pengumuman juara. Banyak yang berbisik saling menguatkan karena pemenangnya bukanlah tim mereka. Atau ada yang berseru kesal dengan tampang sedikit mengerikan sambil protes ke beberapa panitia yang mondar-mandir mengurusi acara. Ada juga yang dengan bijaksana menasihati anak didiknya agar tidak menyerah dalam berjuang dan menyemangati agar mencoba lagi tahun depan.

     Nasya berjinjit, matanya mengekor tabel peserta dan mencoba menemukan namanya di tabel pemenang. Berkali-kali jarinya bolak-balik ke atas, ke bawah. Nasya mengucek-ucek matanya. Tidak percaya? Pasti. Dia sudah mengantongi rasa percaya diri yang lumayan besar karena dia rasa dialah pemenangnya. Dia merasa berhasil dalam membawakan tariannya waktu itu. Tapi apa hasilnya? Nihil.

***

     Keesokan harinya setelah disambut bagaskara untuk mengawali hari, Nasya terlihat muram. Matanya masih menyisakan bekas merah karena lelah menangis. Semalam, setelah dia mengetahui hasil perlombaannya, dia menangis. Dia merasa untuk apa menghabiskan banyak waktu untuk sesuatu yang ternyata tidak ada hasilnya. Nasya terpuruk, dia merebah di ranjangnya sembari mengetuk-ketuk dinding kamarnya. Hingga akhirnya tertidur pulas dengan tenaga yang terkuras, dan bantalnya sudah dipastikan banjir air mata.

     “Sya, gimana lombanya? Pasti menang, kan?” tanya Lintang, teman sebangku Nasya.

     Nasya yang masih berusaha menetralkan hatinya untuk bersiap memulai pelajaran pun hanya bisa terdiam. Dia merutuki dirinya sendiri, mengapa ia bisa mengecewakan sahabatnya yang sudah berharap dirinya bisa membawa pulang kembali piala bertahan. Bukan hanya itu yang dia tangiskan. Sepulang sekolah, para anggota kelompok tarinya dipanggil ke ruang kesenian untuk mendapatkan informasi dari pembinanya.

     “Untuk perlombaan tari pekan depan, saya sudah memilih beberapa kandidat. Berdasarkan evaluasi, hanya 5 anak terpilih yang bisa mewakili sekolah kali ini. Ibu minta maaf Sya, kali ini kamu tidak ikut.”

      Nasya lagi-lagi tidak menyangka. Setelah tertimpa kehilangan sebuah, kini ia harus kehilangan sebuah lainnya. Kepingan-kepingan sebuah itu perlahan hancur. Dia kehilangan sebuah kemenangan, lantas mengapa Tuhan akhirnya merenggut sebuah kepercayaan darinya juga? Dia berpikir, di mana keadilan-Nya yang diagungkan orang-orang? Di mana bukti sabdanya? Sebuah air mata menetes sebagai permulaan tangisan berkepanjangan bagian dua.

***

     Sejak saat itu, dia tak pernah menghadiri latihan menari. Beberapa temannya sudah susah payah membujuk namun nyatanya apa? Mereka pulang dengan tangan hampa. Nasya tetap enggan menyentuh kembali selendang tarinya. Sanggar tari itu ganjil tanpa Nasya. Ini memang bukan pertama kalinya Nasya mengalami rentetan kekalahan. Namun, saat ini dia sangat-sangat membutuhkan kejuaraan sebagai poin baginya menapaki jenjang pendidikan selanjutnya. Maka dari itu, dia sangat malu dan sedih ketika berkali-kali mengecewakan orang-orang disekitarnya. Mematahkan ekspektasi mereka.

     Nasya kehilangan sebuah lagi. Kali ini dia kehilangan harapan dan semangat juang. Setelah berbesar hati menerima kenyataan bahwa dirinya tidak terpilih mengikuti lomba tari itu, dia harus menerima kenyataan lainnya. Tim teman-temannya sukses besar mengantongi gelar juara dengan tidak hadirnya Nasya. Apa kabar hatinya? Dia tak ingin berani-berani lagi memasang target harapan.

     Itulah mengapa dia enggan mengunjungi tempat-tempat yang membuatnya ingat. Betapa dia masih memiliki sebuah rasa sakit. Dia ingin menghilangkan rasa sakit itu. Betapa dia masih punya rasa sedih, dia ingin men-delete-nya Teramat sangat menambah pilu jikalau dia menyanggupi ajakan teman-temannya untuk bergabung lagi.

     Dia juga mengingat rasa sakit pertamanya.

***

     Ketika itu, Nasya masih belum genap lima. Giginya belum tumbuh sempurna. Tiba-tiba ayahnya membawanya pergi, memisahkannya dengan Elang, sang kakak. Nasya yang jelas belum tahu apa-apa pun hanya bisa menangis, mendengar ayahnya membentak ibunya, hati anak mana yang tak sakit.

     “Ayah, kita mau ke mana?” tanyanya sambil menangis sesenggukan.

     “Nasya sayang, kita mau pergi ke tempat yang jauh.”

     “Lalu ibu dan Kak Elang bagaimana yah?”

     “Kak Elang, sesuai namanya akan terbang mengunjungi kita suatu hari nanti. Jangan risaukan ibumu. Dia sudah memilih jalan hidupnya sendiri.”

     Sejak saat itu, makhluk bernama ibu tidak pernah hadir di hidup Nasya. Dia hanya punya ayahnya. Ayah hanya mengelak saat berkali-kali Nasya menanyakan perihal keberadaan ibunya. Sampai suatu saat, ayahnya sudah di ambang batas kesabaran.

     “Sampai kapan kau berharap bisa melihat ibumu, hah? Mau sampai kapan kau mengusik kesucian rumah ini dengan terus menyebut-nyebut namanya?!”

     Dan dia pun kehilangan sebuah kasih sayang. Dia kehilangan sesuatu yang harusnya memang sangat ia butuhkan. Terlebih saat itu dia terbilang belia untuk dipaksa paham oleh situasi yang ada. Tiba-tiba hanya hidup berdua adalah sebuah keharusan baginya. Toh waktu itu Kak Elang lumayan sering melepas rindu dengan Nasya. Berbincang di bawah beringin tua dekat danau, sambil bertanya kabar dan berbagi cerita. Berjanji akan datang akhir pekan berikutnya, membawa mainan yang Nasya pinta.

***

     Kehilangan kedua, kehilangan sebuah tangis ketika seharusnya menangis.

     “Sya, kita lama tak bersua, ya?”

     “Iya kak, kakak sepertinya hampir lupa adik kandung sendiri.”

     Hanya senyum getir yang tertahan, Nasya mulai bisa membaca keadaan.

     “Kakak, kenapa tiba-tiba datang kemari? Ibu tak ikut serta?”

     Elang tak kuasa menahan netranya agar enggan memperlihatkan keadaan hatinya. Tapi sulit, Nasya jelas bisa membaca semuanya dari awal. Karena Nasya sudah memegang janji ibu untuk datang menemuinya di kedatangan kakak selanjutnya. 

     Nasya mematung, pandangannya kosong, selendang tari yang digenggamnya jatuh. Namun tidak dengan air matanya.

     Dia sudah benar-benar mati rasa. Apa itu sedih baginya, jika tak tahu mau ekspresi sedih bagaimana lagi yang akan ia rasakan. Apa itu sedih baginya, ketika ia tak sekalipun pernah melihat ibunya sejak kejadian malam itu. Apalah arti sedih dan tangis baginya, jika setiap apa yang dia rasakan adalah sedih tanpa gejolak, menjalankan sesuatu sesuai kodratnya.

     Kehilangan dalam satu waktu membuatnya kehilangan sebuah tangisan. Dia sama sekali tidak menangis untuk kesedihan-kesedihan yang ia dapat. Setelah kehilangan sebuah kasih sayang, kehilangan sebuah harapan, kehilangan sebuah kepercayaan, kehilangan sebuah keberhasilan, hingga kehilangan kemauan untuk menangis walau hanya sekadar tetesan.

     Nasya mulai meneruskan hidupnya yang memang harus diteruskan. Hidup harus terus berjalan tanpa memedulikan kesiapan hatinya. Dia hanya berjalan lurus ke depan, menapaki langkah demi langkah tanpa menancapkan harapan apapun, tanpa sedikitpun menggores hatinya sendiri.

***

     Hari terakhir di semester kelima Nasya, masih di SMA.

     Sungguh dia masih punya perasaan yang sama, yakni tak merasakan apapun. Jika sesuatu itu seharusnya menyedihkan, bagi Nasya tak nampak sama sekali letak tangisnya. Jika sesuatu itu seharusnya menggembirakan, maka baginya tak nampak sama sekali letak senyumannya. Sampai suatu ketika, dia merasakan rasa yang sudah sangat lama tidak ia rasakan.

     Jatuh cinta. Iya, spesies bernama cinta itu nyatanya bisa tiba-tiba datang kepada siapapun tanpa pandang waktu. Nasya pada awalnya asing dengan perasaan itu. Diam-diam memendam perasaan kepada lelaki yang selalu membelanya saat dibuli, bagaimana tidak tersentuh? Nasya sempat ragu dengan perasannya. Namun ketika ia membiarkannya, justru rasa suka itu semakin besar. Nasya akhirnya merasakan sebuah perasaan yang bernama “Jatuh Cinta”.

     Seiring berjalannya waktu, Nasya mulai menyadari bahwa apapun dan bagaimanapun keadaan kita, itulah perasaan kita. Mungkin kita memang kehabisan energi untuk mengekspresikannya, namun itulah perasaan. Sesuatu yang datang secara tiba-tiba, tak kenal waktu. Kita juga harus belajar menerima bagaimanapun bentuk perasaan yang kita miliki. Baik itu perasaan sedih, senang, marah, ataupun jatuh cinta yang terkesan geli bagi sebagian orang. Tapi cobalah terima. Menerima apa yang kita rasakan sama saja dengan mulai mencintai diri, kan?

Arsyta Hila Prasidya

XI IPS 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar