You Are Enough

 Sejak kecil, kita memang sudah dituntut untuk menjadi sempurna kan?

Buktinya? Aku selalu dibandingkan, dilarang dan dituntut harus menjadi orang yang baik atau positif tanpa memikirkan bahwa sesungguhnya kita pun punya suatu kelemahan atau hal negative.

“Kamu pasti bisa nak. Lihat, teman kamu juga sedang bersepeda tuh!” seru bunda menyemangatiku saat belajar naik sepeda bersama ayah.

“Hebat!” teriak ayah dengan bangga ketika melihatku mengayuh sepeda kecil bewarna pink itu sendiri. Itu dulu, sekarang aku bahkan sudah bisa naik motor sendiri untuk berangkat ke sekolah.

Pagi ini bunda sedang sibuk membuatkanku nasi goreng untuk sarapan. Ini nasi goreng spesial pakai telor mata sapi setengah matang, yang baunya kecium sampai ke kamarku di lantai dua. Sebenarnya nasi goreng kayak gini bisa dibuat sama abang penjual nasi goreng di pinggir jalan yang bahkan lebih enak, tapi aku bilang nasi goreng ini spesial karena dibuat oleh bunda yang punya ciri khas keasinan sedikit. Beberapa saat kemudian aku dan ayah segera merapat ke meja makan untuk menikmatinya.

“Enak kan?” tanya bunda.

“Enak kok, tapi kayaknya masi keasinan sedikit deh.” jawabku berusaha jujur dan hati-hati.

“Masa sih? Padahal sudah bunda kurangi garamnya tadi.” jelas bunda.

“Emang garamnya seberapa banyak, Bun?” tanya ayah penasaran.

“Enggak tau, bunda pake feeling tadi.” jawab bunda merasa ia sudah mejadi cheff handal yang percaya diri menuang garam tanpa takaran.

“Yasudah, besok kita belajar masak bersama ya?” ajak bunda.

“Oke, Bun.”

Setelah sarapan, aku segera bersalaman dengan ayah maupun bunda dan langsung berangkat ke sekolah naik motor kesayanganku.

Hari ini, pelajaran pertama adalah olahraga. Semua murid di kelas ku langsung menuju ke lapangan sekolah sebelum peluit dari guru kami berbunyi.

Kali ini kita akan praktek olahraga lari estafet. Aku ada di kelompok 3 bersama dengan Lili, Vino dan Kaffa. Kami akan bertanding melawan kelompok 1 dan 2 setelah percobaan.

Waktu pertandingan pun dimulai.

“PRITTTT”

Kelompokku dimulai oleh Kaffa sebagai pelari pertama dan dilanjut oleh Lili sebagai pelari kedua. Saat ini kelompok kami berada di posisi pertama. Vino mulai bersiap setelah melihat Lili mulai mendekat ke arah dirinya. Di tengah jalan, ia terjatuh karena tersandung batu kecil. Vino pun tidak putus asa dan langsung kembali berlari, tetapi tetap saja tertinggal dari pelari lain dari kelompok 1 dan 2. Kini giliranku sebagai pelari terakhir. Aku berlari sekuat tenaga dan secepat yang aku bisa untuk mengejar kelompok 1 yang berada tidak jauh di depanku. Akhirnya aku bisa melewati pelari dari kelompok 1. Tapi aku merasa belom cukup, aku harus jadi pemenang pertama pikirku saat itu. Sebentar lagi aku dan pelari terkahir dari kelompok 2 akan memasuki garis finish dan kami berada pada posisi yang sama. Dia memang tidak bisa dianggap sepele karena larinya yang cukup lincah. ini memang detik paling menegangkan, aku dan pelari kelompok 2 bersamaan masuk ke garis finish. Tetapi kata guruku, kaki aku lah yang pertama menginjak garis. Jadi, kelompokku berhasil menjadi juara pertama pada pertandigan ini.

“kamu keren banget, Oly!” seru zia sahabatku.

“Terimakasih, Zia. Sekarang jam istirahat kan? Ayo ke kantin!”  ajakku sambil menarik Zia untuk pergi ke kantin.

Saat aku dan Zia sedang menikmati bakso di kantin, guru fisikaku tiba-tiba datang menghampiri kami dan mengucapkan selamat atas kemenangan yang telah aku raih pada lomba olimpiade fisika minggu kemarin. Aku memang belum melihat pengumuman itu karena semalam saat pengumuman itu diberitahukan, aku tertidur setelah belajar untuk ulangan biologi hari ini. Aku sontak tersedak dan mengucapkan hamdalah keras sekali sampai hampir semua orang yang sedang enak-enaknya makan di kantin melihat ke arah ku. Sebenarnya aku sedikit malu, tetapi mungkin sahabatku Zia lebih malu karena secara otomatis dia pun ikut menjadi pusat perhatian. Tak lupa aku ucapkan terimakasih banyak kepada guruku atas dukungan dan bimbingannya sehingga aku bisa mendapatkan juara satu pada olimpiade fisika kali ini.

Setelah dari kantin, aku dan Zia kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran biologi. Seperti yang kalian baca sebelumnya, kami akan mengerjakan ulangan harian biologi hari ini. Semua murid bersiap sambil mengingat apa pun yang dipelajarinya semalam sebelum guru biologi kami masuk ke kelas. Suasana kelas tak kalah ricuh dengan suasana dikantin tadi.

Tak lama kemudian, guru biologi kami masuk ke kelas. Suasana menjadi hening seketika dan kami pun memulai ujiannya.

Setelah selesai, pelajaran selanjutnya yakni seni budaya. Pelajaran ini adalah pelajaran paling santai dari pada yang lainnya, saking santainya hari ini kita tidak pelajaran. Hanya menonton film dan pembagian nilai hasil penilaian melukis karena materi yang diajarkan sudah selesai. Alhamdulillah aku mendapatkan nilai yang tinggi dari pada yang lainnya.

“Zia, tokoh utama perempuannya cantik banget ya?” ucapku kepada Zia.

“Iya bener. Dia putih, tinggi, punya hidung yang mancung, matanya biru, badannya juga pas gitu.” Zia pun setuju dengan apa yang aku pikirkan.

“kayak sempurna banget gak sih? Aku jadi pengen jadi dia.” kata ku merasa iri

“tapi menurutku kamu juga cantik kok. Kamu juga sempurna, oly.” puji Zia

“sempurna gimana? Aku ga cantik kayak dia.” tanyaku heran.

“sempurna bukan hanya soal fisik, Ly. Kamu juga sempurna dengan cara kamu sendiri. kamu multitalent dan secara gak sadar, banyak yang mau jadi kamu juga loh. Cantik itu relatif, kamu sudah cukup cantik. Lihat deh di cermin!” jelas Zia.

Aku hanya tersenyum dan tiba-tiba terbayang beberapa orang yang memiliki penyakit pada fisiknya sehingga membuatnya berbeda dengan yang lain. Tapi tidak jarang juga, mereka punya bakatnya masing-masing.

Pada akhirnya aku mengerti, bahwa makna sempurna adalah merasa cukup dan bersyukur.

Mengejar kesempurnaan itu ga ada ujungnya, percuma. Karena kita manusia sejatinya akan terus menuntut lebih ke diri sendiri sampai lupa untuk mengapresiasi dan mengakui apa yang kita punya.


Oleh : Agnes Frysky XI MIPA 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar